Jumat, 24 Januari 2014

ANALISIS BERITA TENTANG KEBUDAYAAN

MATA KULIAH JURNALISTIK
ANALISIS BERITA TENTANG KEBUDAYAAN
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd.H





IHDN Denpasar

Oleh:
Nama    : Luh Apriantini               
NIM    : 10.1.1.1.1.3831
Kelas     : PAH A VII



Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2013



TARI GAMBUH SEBAGAI PENOLAK BALA
(Oleh : Luh Apriantini)

    Setiap 2 tahun sekali masyarakat Desa Anturan melaksanakan Upacara Pujawali di Pura Kahyangan Desa yang diawali dengan melaksanakan Pujawali di Pura Dalem. Dalam pelaksanaan pujawali tersebut terdapat pementasan Tari Gambuh yang dianggap sakral oleh msyarakat setempat.
    Tepat, Selasa (5/11) kemarin adalah prosesi Munggah Canang yang ditutup dengan pementasan Tari Gambuh pada malam harinya. Tradisi pementasan Tari Gambuh ini berlangsung secara turun menurun serangkaian dengan piodalan di Pura Kahyangan Desa. Pementasan Tari Gambuh dipercaya dapat menolak bala dan sebagai pengiring upacara. “Tari Gambuh ini adalah tari yang sangat sakral, karena dipercaya dapat menolak bala atau berbagai macam penyakit serta ditarikan oleh para Teruna Desa” ungkap Kelian Desa Pakraman Anturan, Jro I Ketut Wedera. Selain itu menurut Komang Mariana selaku salah satu penari Gambuh mengungkapkan bahwa ia merasa sangat senang dapat berpartisipasi dalam pementasan ini sekaligus sebagai salah satu bentuk yadnya. Penonton juga terbius dalam menyaksikan pementasan Tari Gambuh terbukti dengan antusias dan histerisnya masyarakat desa yang ikut serta menyaksikan pementasan Tari Gambuh (klp4).

I.    PENOKOHAN
1.    Jro I Ketut Wedera (Kelian Desa Pakraman Anturan)
2.    Komang Mariana (salah satu penari Tari Gambuh)
3.    Klp4 (Tim Redaksi)

II.    NILAI BERITA
1.    Aktualitas
Berita ini terjadi pada hari selasa, 5 November 2013 dan sudah dimuat pada hari Rabu, 6 November 2013. Sehingga ada nilai keterkenalan.
2.    Kedekatan
Unsur kedekatan dalam berita ini adalah Tari Gambuh dilaksanakan di Desa Anturan sehingga masyarakat disekitar Desa Anturan akan merasa memiliki kedekatan secara geografis.
3.    Keterkenalan
Pementasan Tari Gambuh hanya dilaksanakan pada saat Upacara Pujawali di Pura Kahyangan Desa. Tari Gambuh ini sebagian hanya dikenal oleh masyarakat lokal khususnya masyarakat di Desa Anturan. Jadi unsure keterkenalan dalam berita ini masih belum bisa ditentukan secara pasti.
4.    Dampak
Berita ini tidak memberikan dampak yang terlalu besar karena yang melaksanakan tradisi ini adalah masyarakat Desa Anturan yang menjadi tradisi turun temurun. Selain itu masing-masing desa memiiki tradisi dan keunikan tersendiri disesuaikan dengan desa, kala, patra.
5.    Human Interest
Berita mengenai Tari Gambuh sebagai penolak bala sangat menarik simpati dari masyarakat. Dimulai dari penari tarian ini yang ditarikan oleh Teruna Desa serta tarian ini dapat menolak bala dan sebagai pengiring upacara.



IMPLEMENTASI CATUR ASRAMA DALAM KEHIDUPAN MASA SEKARANG

MATA KULIAH JURNALISTIK
“IMPLEMENTASI CATUR ASRAMA DALAM KEHIDUPAN MASA SEKARANG”
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd.H





IHDN Denpasar

Luh Apriantini        (10.1.1.1.1.3831)




Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2013


IMPLEMENTASI CATUR ASRAMA DALAM  KEHIDUPAN MASA SEKARANG

ABSTRAK
   
Penulisan ini menjelaskan tentang Implementasi Catur Asrama Dalam Kehidupan Masa Sekarang. Terkait pada jaman modernisasi ini, umat mulai berpikir apakah masih relevankah ajaran mengenai Catur Asrama ini diterapkan dijaman sekarang. Tentu saja ya, bukan berarti jaman berganti ajaran Catur Asrama ditinggalkan tetapi harus disesuaikan dengan jaman dalam mengaplikasikannya. Itulah hal yang paling tepat dilaksanakan mengingat jaman ini adalah jaman Kaliyuga, dimana kebaikan 25 % dan kejahatan 75 %.
Catur Asrama adalah empat tahapan hidup dalam Agama Hindu. Dalam mencapai tujuan hidup yaitu Moksa, ada beberapa tahapan yang harus dijalani umat agar sesuai dengan swadharmanya masing-masing. Adapun bagian-bagiannya adalah (1) Brahmacari yaitu tahapan hidup menuntut ilmu (2) Grahasta yaitu tahapan hidup berumah tangga (3) Wanaprasta yaitu tahapan hidup mengasingkan diri ke hutan untuk tujuan lepas dari kehidupan duniawi dan (4) Bhiksuka yaitu tahapan hidup terakhir dalam tahapan melepaskan segala kehiduan duniawi, mengekang hawa nafsu dan indriya untuk dapat mencapai tujuan hidup yang terakhir yaitu Moksa. Bagian-bagian dari Catur Asrama ini, satu sama lainnya saling berkaitan. Selain itu, Catur Asrama juga ada hubungannya dengan Catur Purusa Artha, yang merupakan empat tujuan hidup manusia. Pada penulisan kali ini hanya akan dibahas mengenai Catur Asrama dalam Pendidikan Masa Sekarang.

I.    Pendahuluan
Kehidupan merupakan  susunan yang sangat sistematik dan tertib dalam Sanatana Dharma. Dari segi kegiatan manusia yang berbeda, ada kesempatan untuk mengembangkannya. Pekerjaan dan latihan yang tepat diberikan pada setiap masa kehidupan, karena kehidupan merupakan sebutan tempat belajar yang luas, tempat daya, kemampuan dan kecakapan manusia secara bertahap dikembangkan. Setiap orang harus melewati asrama yang berbeda secara teratur. Ia hendaknya tidak memasuki sesuatu tahapan hidup sebelum waktunya. Ia dapat memasuki tahapan berikutnya, hanya bila tiap-tiap tahapan sebelumnya telah diselesaikannya. Di alam, evolusi berjalan secara bertahap dan tidak secara revolusioner. Sama halnya dengan tahapan demi tahapan yang ada dalam Catur Asrama yang harus dilalui oleh manusia untuk mencapai tujuan akhir Agama Hindu yaitu “Moksartam Jagaditha”.
Empat Asrama atau tahapan dalam kehidupan, yaitu : Brahmacari (tahapan belajar atau masa menuntut ilmu pengetahuan), Grhastha (tahapan berumah tangga), Wanaprastha (tahapan penghuni hutan atau pertapa dan yang terakhir adalah Sannyasin (kehidupan penyangkalan atau bhiksuka). Setiap tahapan memiliki tugas sendiri-sendiri. Tahapan-tahapan ini membantu evolusi manusia. Empat Asrama menempatkan manusia pada kesempurnaan oleh masing-masing tahapan. Pelaksanaan dari Empat Asrama, mengatur kehidupan dari awal sampai akhir. Dua Asrama yang pertama menyinggung tentang Prawrtti Marga atau jalan kerja, dan tua tahapan berikutnya yaitu kehiduan Wanaprastha dan Sannyasa merupakan tahapan penarikan diri dari dunia luar. Mereka menyinggung kepada Niwrtti Marga atau jalan penyangkalan atau penolakan.
Wanaprastha dan Sannyasa Asrama, adalah tahapan hidup memasuki masa pension dan tahapan hidup mempersiapkan diri untuk melepaskan sang diri (Atman) dari belenggu kehidupan di dunia nyata ini. Dua tahap ini hanya ditujukan untuk mencapai Moksa sebagai tujuan akhir dari proses  hidup ini. Saat Wanaprastha adalah tahapan hidup untuk membagi berbagai pengalaman hidup pada generasi penerus yaitu Brahmacari dan Grhastha Asrama. Dalam hal inilah berlaku semboyan pengalaman sebagai guru terbaik. Sukses dan gagal dalam hidupnya saat Brahmacari dan Grhastha seyogyanya menjadi bahan pelajaran untuk ditelaah oleh generasi selanjutnya.
Pengalaman yang sukses dan gagal itu sebagai suatu bahan pelajaran yang sangat berharga sebagai suatu pebandingan bagi generasi berikutnya. Tentunya dengan kajian-kajian mendalam. Karena situasi dan kondisi jaman sebelumnya dan jaman selanjutnya tidak sama. Cara sukses pada masa yang lalu tentunya tidak selamanya bisa diterapkan pada jaman selanjutnya. Demikian juga kegagalan yang pernah dialami jangan sampai terulang oleh generasi selanjutnya. 
II.      Pembahasan
2.1    Pengertian dan Pembagian Catur Asrama
Catur Asrama artinya empat lapangan atau lapisan hidup manusia sebagai tempat menimba pendidikan spiritual dan kehidupan material. Dalam pustaka Silakrama (dalam Subagiasta, 2007 :7), ada dijelaskan mengenai ajaran etika pendidikan agama Hindu mengenai Catur  asrama. Pembagian Catur asrama adalah Brahmacari asrama, Grhastha asrama, Wanaprastha asrama, dan bhiksuka/sanyasin asrama.
Adapun pengertian masing-masing pembagian Catur Asrama menurut Supeksa (2011), yaitu :
2.1.1    Brahmacari
Brahmacari berasal dari 2 kata , brahma dan cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari ( car ) yang artinya bergerak. Jadr brahmacari artinya bergerak di dalam kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut ilmu pengetahuan ). Dalam kitab Nitisastra II, 1 masa menuntut ilmu pengetahuan adalah maksimal 20 tahun, dan seterusnya hendaknya kawin untuk mempertahankan keturunan dan generasi berikutnya.
Brahmacari juga dikenal dengan istilah ” Asewaka guru / aguron-guron ” yang artinya guru membimbing siswanya dengan petunjuk kerohanian untuk memupuk ketajaman otak yang disebut dengan ” Oya sakti ” . Dalam masa brahmacari ini siswa dilarang mengumbar hawa nafsu sex ,karena akan mempengaruhi ketajaman otak. Untuk masa menuntut ilmu, tidak ada batasnya umur, mengingat ilmu terus berkembang mengikuti waktu dan zaman . Maka pendidikan dilakukan seumur hidup.
Dalam kitab Silakrama (dalam Supeksa, 2011), pendidikan seumur hidup dapat dibedakan menurut perilaku seksual dengan masa brahmacari. Dengan brahmacari dapat dibedakan menjadi 3 bagian, antara lain :
2.1.1.1 Sukla brahmacari artinya tidak kawin selama hidupnya . Contoh orang yang melaksanakan sukla brahmacari . Laksmana dalam cerita ramayana, bhisma dalam mahabarata, jarat karu dalam cerita adi parwa.
2.1.1.2 Sewala brahmacari artinya kawin hanya rekali dalam hidupnya walau apapun yang terjadi.
2.1.1.3 Tresna ( kresna brahmacari ) artinya kawin yang lebih dari satu kali , maksimal empat kali. Perkawinan ini diperbolehkan apabila istri tidak melahirkan atau istri tidak bisa melaksanakan tugas sebagai mana mestinya.
2.1.2  Grahasta
Grahasta merupakan jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga ( dari mulai kawin ). Kata Grahasta berasal dari dua kata. Grha artinya rumah, stha artinya berdiri. Jadi Grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas darar saling cinta mencintai dan ketulusan.
2.1.3 Wanaprasta
Wanaprasta terdiri dari dua kata yaitu ” wana ” yang artinya pohon, kayu, hutan, semak belukar dan ” prasta ” yang artinya berjalan, berdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup menghasingkan diri ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari ikatan duniawi.
2.1.4 Bhiksuka ( Sanyasin )
Kata bhiksuka berasal dari kata biksu yang merupakan sebutan pendeta Buda. Biksu artinya meminta-minta. Masa bhiksuka ialah tingkat kehidupan yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya mengabdikan diri kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ).
2.2 Catur Asrama Konsep Hubungan Antar Generasi
Hubungan harmonis dalam kebersamaan itu terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, tetapi perbedaan itu adalah perbedaan yang komplementatif. Artinya perbedaan yang dapat membangun  hubungan harmonis dinamis dan sinergis adalah perbedaan yang saling lengkap melengkapi. Seperti nasi dan lauk pauknya. Nasi berbeda dengan lauk pauknya, tetapi tanpa nasi lauk pauknya itu tidak banyak manfaatnya dan nasi tidak enak kalau tanpa lauk pauk. Demikianlah perbedaan yang saling lengkap melengkapi itu.
Catur Asrama adalah konsep Hindu yang menjadi dasar hubungan antar generasi. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian depan buku ini bahwa Catur Asrama ini adalah konsep hidup untuk mensukseskan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purusha Artha. Catur Asrama sebagai tahapan hidup untuk  mensukseskan empat tujuan hidup secara bertahap pula. Dari tahapan hidup ini menyebabkan Catur Asrama sebagai konsep pembentukan generasi. Ada generasi Brahmacari Asrama, ada generasi Grhastha Asrama, ada generasi Wanaprastha Asrama dan ada generasi Sannyasin Asrama. Masing-masing Asrama memiliki Swadharma yang berbeda-beda dalam mensukseskan empat tujuan hidup tersebut. Perbedaan swadharma inilah yang menjadi dasar terjadinya hubungan yang saling lengkap melengkapi antar satu Asrama dengan Asrama yang lainnya. Brahmacari Asrama tidak akan sukses tanpa Grhastha Asrama. Demikian juga sebaliknya Grhastha Asrama dianggap gagal kalau Brahmacari Asrama yang dibinanya gagal mewujudkan swadharmanya sebagai Brahmacarin. Karena Grhastha Asrama swadharma utamanya melahirkan, memelihara dan mendidik Brahmacari yang menjadi tanggung jawabnya.
Asrama yg paling strategis posisinya menentukan keharmonisan antar Asrama dalam Catur asrama adalah Grahasta Asrama. Karena Grahasta Asrama ini merupakan posisi yang punya tanggung jawab berat mensukseskan swadharma Brahmacari Asrama. Karena kalau Brahmacari Asrama itu sukses melakukan swadharmanya maka Asrama berikutnya akan lebih mudah melaksanakan. Kalau dalam Brahmacari Asrama seseorang gagal dalam mewujudkan swadharmanya, maka kesulitan demi kesulitan akan menghadang dalam Asrama berikutnya. Swadharma Brahmacari Asrama menurut Athavaveda XI. 5. 1 adalah mengupayakan untuk mengikuti semua sifat-sifat Devata. Maksudnya seorang Brahmacari menjadikan dirinya seorang yang religius. Sifat religius tersebut memang menjadikan dasar membangundiriyang berkwalitas. Karena itu dalam Atharvaveda  XI. 5. 17 dinyatakan seorang Raja akan sukses melindugi bangsanya kalau saat Brahmacari ia berhasil mewujudkan Swadarmanya. Demikian juga seorang Guru atau Acarya akan sukses menjalakan swadarmanya  sebagai pendidik kalau saat sebagai Brahmacari ia sukses menjadi Brahmacari yang baik.
Brahmacari ngarania sang mangabiasa sang hyang sastra tur sang wruh ring kalingganing sang aksara.
Artinya : Brahmacari  namanya orang yang telah menjadikan belajar sebagai tradisi hidupnya untuk  memahami ilmu pengetahuan suci dan yang paham akan hakekat pemakaian aksara.                                                (Agastya Parwa)
Ini artinya seorang Brahmacari adalah orang yang sudah berhasil menjadikan kegiatan belajar itu sebagai kebiasaan atau tradisi. Kalau belajar itu sudah mentradisi dalam kehidupan sehari-hari dan paham menggunakan aksara, mereka itulah yang dapat disebut Brahmacari.Suksesnya seorang Brahmacari umumnya sangat tergantung dari swadarma  mereka yang berposisi sebagai Grhastha yang bertanggung jawab pada Brahmacari bersangkutan. Jadinya Brahmacari dan Grhastha itu harus saling berhubungan yang sifatnya timbal balik sesuai swadarma masing-masing. Misalnya Brahmacari memiliki kewajiban untuk berbhakti pada orang tuanya. Kalau ia berbhakti pada orang tuanya dijanjikan akan memperoleh empat pahala yaitu Kirti, Bala, Yusa dan Yasa. Hal ini dinyatakan dalam Sarasamuccaya 250. Kirti itu pekerjaan yang memberikan kemakmuran, Bala itu kekuatan lahir batin, Yusa itu maksudnya berumur panjang dan Yasa mampu berbuat jasa dalam hidupnya ini. Kalau seorang Brahmacari dapat dengan sungguh-sungguh berbhakti pada orang tuanya yang tergolong Grhastha Asrama maka Brahmacari tersebut akan mendapatkan empat pahala mulia tersebut. Demikian juga dalam Manawa Dharmasastra II. 23 menyatakan bahwa seorang putra yang masih tergolong Brahmacari berbhakti pada ibunya ia akan memperoleh pahala kebahagiaan di bumi ini, dengan berbhakti pada ayahnya ia akan memperoleh pahala mulia di bhuwah loka. Kalau berbhakti pada gurunya (Acarya) ia akan mencapai Brahma Loka. Selanjutnya dalam kitab yang sama pada sloka 234 menyatakan bahwa semua kewajibannya akan dapat dilakukan dengan teratur bagi anak (Brahmacari) yang dapat berbhakti dengan baik pada ibu, ayah dan gurunya. Yajna akan sia-sia bagi Brahmacari yang tidak berbhakti pada ibu, ayah dan gurunya.
2.3    Catur Asrama Dalam Pendidikan Jaman Sekarang
Tujuan hidup menurut ajaran Hindu sebagaimana dinyatakan dalam Brahma Purana adalah untuk mencapai dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup tersebut harus dicapai secara bertahap, melalui sistem sosial yang disebut asrama yakni brahmacari, Grahasta, wanaprasta dan bhiksuka atau sanyasin. Pada tahapan hidup brahmacari tujuan hidup lebih diutamakan pada pencapaian dharma, dalam hal ini pencarian atau penguasaan ilmu pengetahuan dan iptek. Berbeda halnya pada jenjang grehastha asrama yang lebih memprioritaskan pada pencapaian artha dan kama. Berbeda pula dalam tahapan hidup wanaprastha dan bhiksuka asrama. Pada jenjang wanaprastha dan bhiksuka, umat mempersiapkan diri untuk mencapai kelepasan dengan ikatan duniawi. Dalam konteks kekinian, masih relevankah konsep Catur Asrama ini, itulah yang menjadi pertanyaan kita sebagai generasi muda Hindu.
Spirit Catur asrama sesungguhnya masih tetap penting dimaknai dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang. Artinya, dalam kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai perubahan, spirit nilai yang dikandung dalam konsep tersebut menjadi penting dipedomani. Dalam tahapan hidup brahmacari, misalnya, generasi muda Hindu memang sudah seharusnya berkonsentrasi penuh untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai keterampilan diharapkan dapat dijadikan bekal dalam mengarungi hidup berumah tangga (Grahasta). Dalam tahapan sedang menuntut ilmu, hal-hal yang seharusnya baru bisa dilakukan saat Grahasta hendaknya dihindari, seperti hubungan suami-istri.
Tugas seorang brahmacari adalah belajar, menuntut ilmu setinggi-tingginya. Hubungan seks baru boleh dilakukan manakala seseorang sudah menginjak masa Grahasta (berumah tangga). Hubungan seks yang benar dalam masa Grahasta adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra. Sementara pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi peningkatan mutu SDM. Bagaimana bisa bersaing jika SDM Hindu tidak berkualitas. Melalui pendidikanlah kualitas diri bisa ditingkatkan. Pada saat brahmacari-lah ilmu pengetahuan mesti digali sebanyak-banyaknya. Tetapi bukan berarti belajar berhenti pada masa brahmacari. Belajar tetap sepanjang hayat.
Menurut Budi Utama (dalam Bali Post Online, 2005), pendidikan menjadi sesuatu yang penting dalam Hindu, sehingga anak yang dilahirkan menjadi generasi yang suputra. Bahkan, proses pendidikan (pendidikan prenatal) itu sudah berlangsung saat terjadi pembuahan. Maka, dalam ritual Hindu dikenal istilah magedong-gedongan. Selama masa kehamilan, dalam teologi Hindu ada sesuatu yang bisa dipedomani, misalnya si ibu tidak boleh dibuat terkejut dan sebagainya. Ketika lahir, ada tahapan-tahapan perlakukan terhadap anak-anak. Kapan ia diperlakukan sebagai raja --semua kemauannya dituruti. Kapan ia diperlakukan sebagai ''budak'', bisa disuruh untuk mengerjakan sesuatu, dan kapan ia dijadikan sebagai teman. Umumnya, ketika anak-anak menginjak usia remaja orangtua memperlakukannya sebagai teman. Berbagai kesulitan yang dialami, dicarikan jalan pemecahannya.
Jadi pada masa brahmacari itulah, kata Budi Utama, kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) saatnya dikembangkan. Dalam hal ini orangtua sangat besar perannya dalam pengembangan semua kecerdasan itu. Terutama kecerdasan spiritual, orangtua memiliki peran yang strategis dalam mengembangkannya. Karena itu, di rumah, anak-anak mesti dilibatkan pada hal-hal yang bersifat spiritual seperti dalam pembuatan bahan-bahan ritual sehingga SQ-nya berkembang dengan baik.
Dalam masa brahmacari, semua kecerdasan hendaknya dikembangkan secara seimbang, sehingga anak-anak menjadi generasi yang utuh. Lagi pula, keberhasilan anak-anak dalam melakoni hidupnya kemudian (masa Grahasta) tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual. Dua kecerdasan lainnya yakni EQ dan SQ, juga besar perannya. Sementara pada masa brahmacari, umat lebih fokus pada pencarian artha dan kama. Namun, dalam pencarian artha dan kama itu dasarnya tetap dharma. Pencarian artha itu selain untuk melangsungkan kehidupan, juga untuk membiayai pendidikan anak-anak, selain didana-puniakan dan disisihkan untuk kepentingan yadnya.
Memasuki masa Grahasta, misalnya, dengan berbekal ilmu dan keterampilan yang memadai, seseorang mendapat profesi menjanjikan dan atau mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Melalui media itu umat dapat mencari artha dan kama. Namun, ingat dalam pencarian artha dan kama, dharma-lah yang tetap menjadi landasannya.Menapaki kehidupan wanaprasta dalam konteks kekinian tentu tidak harus menyepikan diri ke hutan. Tetapi, di tengah kehidupan yang penuh dengan ingar-bingar ini, umat diharapkan mampu menyepikan diri dari gejolak hawa nafsu.
Selain itu pada saat ini, asrama tak dapat dihidupkan secara tepat sesuai dengan rincian aturan kuno, karena kondisinya telah banyak sekali berubah tetapi dapat dihidupkan kembali dalam semangatnya terhadap kemajuan yang besar dari kehidupan modern. Pada tahapan ini tak seorang pun harus tugas orang lain. Siswa atau Brahmacari hendaknya tidak melakukan tugas seorang rumah tangga pertapa ataupun sannyasa. Kepala rumah tangga hendaknya tidak melakukan tugas seorang Brahmana, wanaprastha atau sannyasin. Seorang sannyasin hendaknya tidak lagi mencari kenikmatan dari kepala rumah tangga.
Kedamaian dan aturan akan berlaku dalam masyarakat, hanya apabila semua melaksanakan kewajiban masing-masing secara efektif. Penghapusan warna dan asrama akan memotong akar dari kewajiban social masyarakat. Bagaimana bangsa dapat mengharapkan untuk hidup bila warnasrama dharma tidak dilaksanakan secara tegar. Murid-murid sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjalani suatukehidupan yang murni dan sederhana. Kepala rumah tangga seharusnya menjalani kehidupan sebuah Grahasta yang ideal. Ia seharusnya melaksanakan pengendalian diri, welas asih, toleransi, tidak merugikan, berlaku jujur, dan kewajaran dalam segala hal. Mereka yang mengalami kesulitan menjalani kehidupan tahap ketiga dan tahap keempat dari asrama ini, hendaknya tetap pada dua asrama lainnya secara bertahap menarik dunianya dari kehidupan duniawi dan melakukan pelayanan tanpa pamrih, belajar dan bermeditasi.
Catur Asrama dalam era pendidikan modern sangat relevan oleh karena sang pelajar dituntut disiplin dalam menimba segala pengetahuan. Jika tidak, maka gagallah pelajar itu untuk meraih cita-citanya, tidak hanya itu sang pelajar juga dituntut disiplin dalam percintaan. Semasa belajar dilarang untuk melakukan hubungan seks (sukla Brahmacari). Jadi intinya bahwa pada masa belajar hanya aturan aguron-guron yang wajib ditaati. Sedangkan yang lainnya dikesampingkan, tujuannya agar tercapai kemantapan ilmu kerohanian dan ilmu lainnya sesuai yang diarahkan dalam masa belajar. (Subagiasta, 2006 :68).
Brahmacari merupakan jenjang atau tahapan awal untuk menumbuhkan karakter seseorang. Brahmacari dalam kehidupan sekarang dapat dilihat dari pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai pada Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan nonformal dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat misalnya diadakannya pasraman-pasraman. Selain itu, pada jaman modern sekarang tidak adanya batasan-batasan tertentu dalam masa menuntut ilmu pengetahuan (Brahmacari), pendidikan bisa dilakukan seumur hidup selama orang itu mau dan mampu menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga sebagai bekal dalam kehidupan masa mendatang seperti masa Grahasta yaitu masa berumah tangga. Pada kehidupan inilah kita sebagai seorang Grahasta dituntut untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang kita pelajari pada masa Brahmacari agar kesulitan-kesulitan dalam kehidupan masa berumah tangga ini dapat disiasati dengan baik. Menginjak pada masa Wanaprasta pada jaman sekarang, tidak dapat dilakukan dengan mengasingkan diri kedalam hutan seperti pada jaman dahulu. Tetapi dapat dilakukan dengan jalan melaksanakan swadharma sebagai anggota masyarakat yang baik. Terakhir, dalam masa bhiksuka kita dituntut untuk dapat mengekang hawa nafsu dan lepas dari ikatan duniawi seperti menundukkan segala nafsu-nafsu yang ada dalam diri manusia.

III.    Penutup
Demikianlah Catur Asrama yang merupakan empat tingkatan hidup yang bersifat formal dan tidak kaku dalam penerapannya da;am kehidupan sehari-hari. Dharma adalah dasar untuk mendapatkan artha, kama dan moksha. Tetapi sebaliknya, tanpa dharma artha, kama dan moksha, dharmapun tidak bisa dijalankan dengan sempurna. Tidak ada swadarma (kewajiban) atau kebanaran yang dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa artha dan kama. Misalnya menuntut ilmu pengetahuan ataupun berdana punia adalah perbuatan dhara tetapi kesemuanya itu baru dapat dilakukan kalau ada artha dan kama (keinginan atau semangat). Demikian pula Moksha yang berasal dari bahsa sansekerta dari urat kata : mucch artinya bebas tanpa ikatan. Kebebsan tersebut adalah kenyataan yang setiap saat diperjuangkan oleh manusia. Untuk mendapatkan kebebasan yang paling ideal, mebutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan bertahap.
Brahmacari merupakan jenjang atau tahapan awal untuk menumbuhkan karakter seseorang. Brahmacari dalam kehidupan sekarang dapat dilihat dari pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai pada Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan nonformal dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat misalnya diadakannya pasraman-pasraman. Selain itu, pada jaman modern sekarang tidak adanya batasan-batasan tertentu dalam masa menuntut ilmu pengetahuan (Brahmacari), pendidikan bisa dilakukan seumur hidup selama orang itu mau dan mampu menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga sebagai bekal dalam kehidupan masa mendatang seperti masa Grahasta yaitu masa berumah tangga. Pada kehidupan inilah kita sebagai seorang Grahasta dituntut untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang kita pelajari pada masa Brahmacari agar kesulitan-kesulitan dalam kehidupan masa berumah tangga ini dapat disiasati dengan baik. Menginjak pada masa Wanaprasta pada jaman sekarang, tidak dapat dilakukan dengan mengasingkan diri kedalam hutan seperti pada jaman dahulu. Tetapi dapat dilakukan dengan jalan melaksanakan swadharma sebagai anggota masyarakat yang baik. Terakhir, dalam masa bhiksuka kita dituntut untuk dapat mengekang hawa nafsu dan lepas dari ikatan duniawi seperti menundukkan segala nafsu-nafsu yang ada dalam diri manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bali Post Online. 2005. ''Catur Asrama'' dalam Konteks Kekinian
Kejarlah Ilmu, ''Sepikan'' Diri dari Gejolak Hawa Nafsu. Tersedia pada http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/30/bd1.htm. Diakses pada tanggal 1 Desember 2013
Ngurah, I Gusti Made, dkk. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya : Paramita
Sivananda, Swami. 1997. Intisari Ajaran Konsep Hindu. Surabaya : Paramita
Subagiasta. 2006. Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual. Surabaya : Paramita
_________. 2007. Etika Pendidikan Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Supeksa, Ketut. 2011. Catur Asrama Dalam Agama Hindu. Tersedia pada http://supeksa.wordpress.com/2011/02/26/catur-asrama-dalam-agama-hindu/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2013
Wiana. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya : Paramita







Minggu, 19 Januari 2014

TUGAS UTS SAIVA SIDDHANTA I

TUGAS UTS SAIVA SIDDHANTA I

DOSEN PENGAMPU : I KETUT PASEK GUNAWAN S.Pd. H


IHDN DENPASAR

OLEH:

    NAMA : LUH APRIANTINI
    NIM : 10.1.1.1.1.3831
                                              KELAS : PAH /A
                        SEMESTER : IV





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2011/2012


PERTANYAAN :
1.    Jelaskan proses penyebaran saiva siddhanta dari India sampai ke Bali?
2.    Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte yang ada dalam saiva siddhanta!
3.    Jelaskan bentuk kristalisasi saiva siddhanta di Bali!
4.    Apakah anda beragama Hindu? Jelaskan!
5.    Bagaimana anda menyikapi terhadap adanya sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep saiva siddhanta?


JAWAB :
1.    Proses penyebaran  saiva siddhanta dari India sampai ke Bali yaitu :
 Berawal dari datangnya bangsa arya Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran. Bangsa Dravida telah mengenal ajaran siva dengan cirri-ciri seperti bentuk Deva Siva sehingga diidentikkan dengan sivaisme yang tinggal di daerah Tambil Nadu. Bangsa Arya diidentikkan dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya. Ajaran Sivasiddhanta berkembang dari agama Siva yang sudah ada sejak zaman Pra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida. Dengan dukungan dan perkembangan dari bangsa Arya sehingga tetap berkembang menjadi ajaran sivaisme seperti saat ini. Agama Siva berasal dari kaki gunung Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum Bangsa Arya ada perkembangan agama siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan berbentuk siva, dan bentuk dewa lainnya dan juga pengikutnya. Sebuah Lingga Yoni konsep penciptaan. Sehinnga konsep itu diadopsi oleh bangsa Arya kedalam Veda, Upanisad, Purana dan bentuk kepercayaan Siva-agama Tambil baik arsitektur dan sebagainya.
Di Indonesia mazab Sivasiddhanta datang pada abab ke-4 M di Kutai dibawa oleh Rsi Agastya dari Benares India. Terdapat 7 Yupa dengan huruf Sansekerta. Jawa Barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut koebon kopi. Jawa Tengah terdapat kerajaan Kalingga tahun 618-906 M rajanya Ratu Sima terdapat prasasti berbahasa sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abab 7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut prasasti Canggal. Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi Kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruhan rajanya Dewasima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja Tri Murti. Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya Kameswara. Kerajaan Singasari tahun 1222-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan banyak candi. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikramawardhana masa jayanya Sivasiddhanta. Kerajaan Pajajaran rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabu Ratu Dewata.
Di Bali pemujaan Siva adalah dengan cara yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara. Pengikut Siva di India dicirikan dengan 3 garis mendatar didahinya dengan Bhasma an Wibhuti. Perayaan hari Siva yaitu pada Sivalatri, Saraswati, Purnama, Tilem dan manggala warga yaitu hari suci untuk menasehati diri. Cara pemujaan dengan cara mencakupkan kedua telapak tangan ditaruh di hulu hati atau diubun-ubun atau juga dengan sujud dilingga atau penataran mandir dan terlebih dahulu membunyikan lonceng di mandir.
Sumber ajaran Siva diBali terdapat 4 kelompok yaitu kelompok : weda, tattwa, ethika dan upacara. Kelompok weda : weda parikrama, weda sanggraha, surya sevana dan siva pakarana. Kelompok tattwa : Bhawana kosa, bhawana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong besi, purwa bhumi kemulan, tantu pagelaran, usana dewa, ganapati tattwa, tattwa janan, dan jnana siddhanata. Kelompok ethika : siwa sasana, rsi sasana, wrtii sasana, putra sasana dan slokantara. Kelompok upacara : upacara dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, manusa yadnya, bhuta yadnya. Bhuwana kosa terdiri dari 11 bab dan 487 sloka sumbernya berbahasa sansekerta terdapat proses penciptaan (utpeti) dari Siva, Purusa, Awyakta, Bhudi, Ahangkara, Panca tan Mantra,Manah, Akasa, Bayu, Agni, Apah dan Pertiwi. Proses peleburan oleh Siva dari Panca Maha Butha, Panca Tan Tantra, Angkara, Bhudi, Awyakta, dan Purusa. Wrhaspatitattwa terdiri atas 74 sloka terdapata dialog antara bhatara siwa dan wrhaspati mengeai cetana unsure kesadaran dan acetana unsure ketidaksadaran. Ganapatitatwa isinya tentang dialog dewa siwa dengan dewa ganapati yang terdapat caturdasaksara yaitu sang, bang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang, ang, ung, mang ong. Penciptaan panca wedata.
Astangga yoga dalam ajaran siva siddhanta yaitu : Yama artinya pengendalian tahap pertama, bagiannya ahimsa tidak menyakiti, satya artinya setia, asteya artinya tidak mencuri, brahmacari pantang berhubungan seks dan aparigraha artinya tidak loba. Nyama artinya pengendalian diri tahap lanjutan yaitu sauca artinya suci lahir bhatin, santosa artinya kepuasan, tapa pengekangan diri, swadhyaya artinya belajar dan iswarapranidana artinya bhakti kepada Tuhan. Asana yaitu sikap duduk yaitu ada padmasana, wajrasana, swastikasana, sukhasana, silasana dan lain-lain. Pranayama artinya pengendalian prana : puraka menarik nafas yang bersih, kumbaka artinya menahan nafas dan recaka pengeluaran nafas. Pratyhara artinya penarikan pikiran dari objeknya. Darana yaitu pemusatan pikiran pada sasaran yang dituju. Dhyana yaitu melakukan meditasi atau usaha pemusatan pikiran pada satu objek yang absolute. Samadhi yaitu adanya penyatuan esensi jiwa denan atman.
Dalam ajaan siva siddhanta terdapat 5 upacara korban yang mesti dilakukan yaitu brahma yadnya kepada Brahman, dewa yadnya kepada para dewa, pitra yadnya kepada pitara, manusa yadnya dan bhuta yadnya. Di India ada 10 samskara yaitu Garbhadana (menyucikan kegiatan penciptaan), pumsavana (mantra kandungan 3 bulan), simantonnayana (mantra kandungan 7 bulan), jatakarma (upacara kelahiran anak), namakarana (upacara pemberian nama), annaprasarana (pemberian makan pertama berumur 6 bulan), cudakarana (upacara cukur rambut), upanayana (upacara belajar kepada guru), samavartana (upacara mengakhiri belajar), vivana (upacara perkawinan). Siva siddhanta menerima 5 subtan eksternal yaitu : 1) Tuhan disebut Pati (penguasa), 2) Jiwa-jiwa disebut Pasu (binatang), 3) Maya (penyebab material yang berevolusi dari dirinya), 4) Karma (perbuatan baik dan buruk dan hasil-hasilnya), dan 5) Anawa-mala (belenggu fundamental).
Proses penciptaan alam semesta berdasarkan maya terdiri dari maya murni dan tidak murni. Maya murni (suddha-maya) yaitu saktinya yang langsung oleh siva yaitu keinginan (iccha), kemauan (kriya), dan pengetahuan (jnana). Tidak murni (asudha maya) yaitu evolusi jiwa-jiwa siva tidak terlibat langsung maka adanya waktu (kalla), keperluan (niyati), dan partikel (raga) yang disebut purusa. Prakerti membentuk bagian evolusi yang membuat pengalaman (bhojayitr-kanda). Penyatuan purusa prakerti muncullah  citta dan budhi (intelek), dari prakerti buddhi muncul ahamkara (individualisasi) terdapat 3 yaitu : sattva, rajas dan tamas. Setelah itu muncul tan mantra yaitu esensi haus seperti suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Dan barulah muncul panca maha butha.
Pati adalah Tuhan yang dibuat brahma,Wisnu dan Rudra. Yang memiliki sifat independen, murni, berpengetahuan, sendiri, maha tahu, bebas dari mala, murah hati, maha ada dan kebahagian. Sifat utamanya adalah : 1) Tirodhana (pengaburan), 2) Srsti (pencipta), 3) Sthiti (pemelihara), 4) Samkara (pengancuran), 5) Anugraha (pemberi anugrah). Pasu yang berarti jiwa yang dapat mengalami kebodohan (awidya), belenggu-belenggu (pasa), Anava-maya (ketidak makmuran sejak lahir, karmaphala belenggu akibat perbuatan). Pasa disebut juga seutas tali yang berpengaruh terhadap jiwa yang sama dengan dasar alam semesta terdiri dari mala (ketidak makmuran), anawa atau egoism, dan karma atau aktivitas. Pasa membuat jiwa percaya bahwa yang putih itu susu dan yang mengkilap itu emas dan lainnya.
Cara memperoleh pengetahuan dengan Tri Pramana dan pramana lainnya seperti : Praktyasa pramana (observasi langsung), Anumana pramana (inferensi), Agama (testimoni atau otoritas), Abhawa (non persepsi), Arthapatti (presumsi), Upamana (koparasi), Parisesa (enferensi melalui eliminasi), Sambhawa (probalitas), Aitihyam (tradisi), dan swadhaya-lingga (infrensi ilmiah)
 Ajaran Siwa yang berkembang di Bali adalah siva siddhanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari  ajaran yang sudah mapan Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran weda, Upanisad,dharmasastra,darsana (terutama samkya yoga), purana dan tantra. Ajaran dari sumber-sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindi di Bali.
Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur-unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, rerainan upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang utuh dan bulat. Dengan demikian agama hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga,rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
                    
2.    Sekte-sekte yang ada dalam saiva siddhanta yaitu :
1.    SEKTE SIWA SIDHANTA   
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
2.     SEKTE PASUPATA
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.

3.     SEKTE WAISNAWA
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.

4.     SEKTE BODHA DAN SOGATHA
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.

5.     SEKTE BRAHMANA
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.

6.     SEKTE RSI
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.

7.     SEKTE SORA ATAU PENYEMBAH SURYA
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.

8.     SEKTE GONAPATYA
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.

9. SEKTE BHAIRAWA   
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.

10.    SEKTE RAMANANDI
Para pengikut Ramananda adalah Ramanandi. Mereka terkenal dikalangan orang-orang Hindustan. Mereka merupakan sebuah cabang dari sekte Ramanuja yang mempersembahkan pemujaan kepada Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman. Ramananda adalah seorang murid dari Ramanuja. Ia berkembang di Waranasi kira-kira pada awal abab ke-14. Para pengikutnya banyak terdapat di lembah sungai Gangga. Karya faforit mereka adalah “ BHAKTI-MALAT”. Tanda ke-sekte-an merreka adalah seperti orang-orang pengikut Ramanuja. Di antara pertapa Ramanandi mereka disebut Wairagi.

11.     SEKTE WALLABHACARIN ATAU RUDRA SAMPRADAYIN
Para pengikut Wallabhacarin membentuk sebuah sekte yang sangat penting di Bombay, Gujarat dan India Tengah. Penganjurnya lahir dihutan Camparanya pada tahun 1479, yang dianggap sebagai satu inkarnasi dari Krsna. Para pengikut Wallabhacarin memuja Krsna sebagai Bala-Gopala. Patung pemujaan mereka menggambarkan Krsna pada masa kanak-kanaknya hingga berumur 12 tahun. Gosain atau para guru merupakan orang laki-laki yang selalu tinggal di rumah. Delapan upacara sehari-hari kepada Tuhan dikuil-kuil Mangala, Sringara Gwala,Raja Bhoga, Utthapana, Bhoga, Sandhya dan Sayana, yang semua ini menyatakan semua kemuliaan Tuhan.
Tanda pada kening mereka terdiri dari 2 garis tegak lurus berwarna merah yang pertemuaannya di pangkal hidung membentuk setengah bulatan dan memiliki sebuah titik bundar merah di antara dua garis tersebut. Kalung dan tasbihnya terbuat dari dahan pohon Tulasi (Basil Suci). Otoritas yang tersebar dari sekte ini adalah Srimad Bhagawatam seperti yang dijelaskan dalam Subhodini yang merupakan komentar dari Wallabhacarya. Anggota-anggota dari sekte ini hendaknya mengunjungi sebuah tempat suci Sri Nathdwara, paling sedikit sekali dalam hidupnya.

12.    SEKTE   CAITANYA
Sekte ini terutama tersebar di Bengala dan Orissa. Penganjurnya adalah Caitanya Mahaprabhu yang lahir pada tahun 1485, yang dianggap sebagai inkarnasi dari Tuhan Krsna. Beliau memasuki tahapan Sanyasa pada umur 24 tahun dan pergi ke Jagannantha disitu beliau mengajarkan ajaran-ajaran Waisnawa.
Para pengikut Caitanya memuja Sri Krsna sebagai Mahluk Tertinggi. Semua golongan masyarakat diperkenankan masuk ke dalam sekte ini. Para pemujanya secara terus menerus mengulang-ulang nama dari Krsna. Kitab Caitanya Caritamrta oleh Krsna Dasa merupakan karya besar yang jumlahnya berjilid-jilid yang mengandung cerita-cerita pendek dari Caitanya dan pengikutnya yang terpenting serta keterangan tentang ajaran dari sekte ini. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Bengali.

13.    SEKTE NIMBARKA
Penganjur dari sekte ini adalah Nimbarka atau Nimbaditya, yang aslinya bernama Bhaskara Acarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Dewa Matahari. Para pengikutnya memuja Krsna dan Radha secara bersama-sama. Kitab utama mereka adalah Srimad Bhagawatat Purana.
Para pengikutnya memiliki tanda dua garis kuning tegak lurus dari bahan Gopicandana yang ditarik dari pangkal rambut kepermukaan masing-masing alis dan disana bertemu membentuk sebuah lengkungan yang menyatakan tapak kaki dari Tuhan Wisnu. Para pengikut Nimbarka atau Nimawat terpancar dari seluruh kalangan India atas. Mereka banyak terdapat di Mathura dan juga sangat banyak ditemui di antara sekte waisnawa di Bengala.

14.    SEKTE MADHWA
Para penganut ajaran Madhwa Waisnawa, yang dikenal sebagai Brahma Sampradayin. Penganjur dari sekte ini adalah Madhwacarya yang juga disebut Ananda Tirtha dan Purna Prajna. Beliau lahir pada tahun1200. Beliau merupakan seorang penentang terbesar dari system filsafat Adwita dan Sankaracarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Wayu atau Dewa Angin. Beliau membangun dan mensucikan patung pemujaan Krsna di Udupi.
Para guru dari sekte Madhwa adalah para Brahmana dari Sannyasin. Para pengikutnya mencap dada dan bahunya dengan symbol Wisnu dengan memakai besi panas. Tanda pengenalnya terdiri dari 2 garis tegak lurus yang dibuat dari Gopicandana yang bertemu pada pangkal hidung. Mereka membuat garis lurus hitam dengan arang dari dupa yang dipersembahnkan kepada Krsna yang diakhiri dalam suatu bulatan yang dibuat dari sejenis kunyit.
Para pengikut Madhwa dibagi dua golongan yang disebut Wyasakuta dan Dasakuta. Mereka banyak dijumpai di Karnataka. Kejujuran, belajar kitab suci murah hati, kebaikan hati,kepercayaan dan kemerdekaan dari rasa cemburu membentuk hukum-hukum moral dari para pengikut Madhwa. Mereka memberikan nama-nama Tuhan kepada anak-anak mereka dan mencap badan mereka dengan simbol-simbol-Nya. Mereka melaksanakan kebajikan dalam pikiran,perkataan dan perbuatan.

15.    SEKTE RADHA WALLABHI
Para pengikut Radha Wallabhi memuja Krsna sebagai Radha Wallbha, yaitu penguasa kasih sayang Radha. Penganjur dari sekte ini adalah Hariwansa. Sewa Sakhi Wani memberikan uraian terperinci tentang pengertian sekte ini, terlebih lagi tentang tradisi dan tata tertib mereka.

16.    SEKTE  JAINA
Penganjur pertama dari sekte ini adalah Parswanatha. Penyebar aktif yang pertama adalah Mahawira. Sekte Jaina dijumpai dalam jumlah yang besar terutama di pesisir barat. Mereka dibagi menjadi 2 sekte utama, yaitu : Swetambara (yang berpakaian warna putih) dan Digambara (yang telanjang). Sekte Jaina tidak mengakui ke Tuhan-an sumber weda, mereka tidak percaya pada suatu Dewata Tertinggi. Mereka menghormati orang-orang suci atau orang-orang yang saleh digelari Tirthankara yang berdiam dan dipersemayaman surgawi dan yang dengan disiplin lama meningkatkan dirinya sendiri ke kesempurnaan Tuhan. Gambaran atau patung dari satu atau lebih para Tirthankara ini ditempatkan pada setiap kuil pengikut Jaina.
Sekte Jaina menetapkan secara ketat hidup vegetarian dan terikat dengan kehidupan yang suci. Mereka melaksanakan Ahimsa. Para pengikut Jaina yang ketea menapis air sebelum minum, menyapu tanah dengan sebuah sikat sebelum melewati atau mendudukinya, tak pernah makan atau minum pada malam hari dan kadang mengenakan kain tipis menutup mulut untuk menjaga resiko menelan serangga kecil-kecil. Ada 2 pengikut Jaina yaitu : Srawaka yang melibatkan dirinya dalam kegiatan duniawi para Yati atau biksu yang menjalani kehidupan pertapa.

17.    SEKTE SIKH
Orang-orang Sikh sesungguhnya adalah orang-orang Hindu. Kapatuhan terhadap guru memberikan keterlepasan dari kelahira berikutnya, merupakan keyakinan orang-orang Sikh.   

18.    SEKTE RAMA SANEHI
Penganjur golongan ini adalah Ramcaran yang lahir pada tahun 1718 di sebuah desa dekat Jaipur di Rajasthan. Para peminta-minta Rama Sanehi ada 2 golongan yaitu : Widehi yang telanjang dan Mohini yang mengenakan 2 potong pakaian dari kain kapas yang dicelup merah dalam tanah liat kecoklatan. Biara mereka ada di Sahapur Rajasthan. Sekte Rama Sanehi memiliki para pengikut yang terbesar di Mewar dan Alwar, namun mereka juga dijumpai di Bombay, Gujarat, Surat, Puna Ahmedabad, Hyderabad, dan Waranasi.

19.    SEKTE KABIR PANTHI
Kabir Panthi adalah pengikut dari orang suci Kabir, yang banyak terdapat di seluruh propinsi India Atas dan Tengah. Cabang-cabangnya ada 12 buah, antara lain Kabir Caura yang berada di Waranasi yang merupakan subuah biara besar dari Kabir Panthi. Dharamdas adalah murid Kabir yang utama. Para pengikutnya diharapkan untuk memiliki kepatuhan yang mutlak terhadap para guru dalam pemikiran, perkataan, dan perbuatan. Mereka harus melaksanakan kejujuran, kedermawanan, tidak menyakiti dan pengasingan diri.

20.    SEKTE DADU PANTHI
Dadu Panthi membentuk satu aliran Waisnawa. Dadu, penganjur sekte ini merupakan seorang murid salah satu guru-guru Kabir Panthi. Para pengikutnya memuja Rama. Dadu adalah seorang pembersih kapas, yang lahir di Ahmedabad. Iaberkembang kira-kira tahun 1600. Dadu Panthi terdiri dari 3 golongan yaitu : wirakta yang berkepala gundul dan memiliki satu pasang pakaian dan satu kendi air, naga yang membawa senjata dan yang dianggap sebagai tentara dan wistar dhari yang melakukan pekerjaan sambilan dari kehidupan biasa. Tempat pemujaan utama mereka berada di Naraina dekat Sambhur dan Jaipur.

21.    SEKTE PARINAMI
Sri Pirannath adalah penganjur sekte ini yang lahir pada tahun 1675 di Jamnagar, distri Rajkot, Kathiawar. Beliau adalah Diwan dari Raja Jam Jasa. Pengikutnya melaksanakan Ahimsa, Satya, Daya-tanpa kekerasan, kejujuran dan kasih saying. Mereka mempelajari kitab-kitab suci, Kul Jam Swarup atau Atma Bodha dalam bahasa Hindi yang mengandung ajaran-ajaran Sri Prannath yang terdiri dari 18.000 Caupais. Mereka memuja Bala-Krsna yaitu Krsna sebagai seorang pemuda kecil. Para pengikutnya kebanyakan dijumpau di Punjab, Gujarat, Assam Nepal, dan Bombay. Dua buah Mutt atau biaranya terdapat di Jamnagar dan di Pamna.

3.    Bentuk kristalisasi saiva siddhanta di Bali adalah :
Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di Kalimantan Timur (pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mùlavarman dan di Jawa Barat oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari India Selatan. Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Matarama Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di Jawa Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkann kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Disamping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya.Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual. Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah Hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di samping dakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu (Hindu Dharma), unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat diamati.

4.    Ya saya beragama Hindu. Sebab kita memeluk agama karena kelahiran dan karena pilihan. Kita memeluk agama Hindu karena kita lahir dari orang tua Hindu, sejak kecil kita diajak oleh orang tua kita mengikuti acara-acara agama, kita diajak sembahyang bersama pada hari-hari raya dan pada usia tertentu kita dibuatkan upacara-upacara agama  atau karena kita kawin dengan seorang suami atau istri Hindu. Atau bahkan karena pilihan yang kita lakukan secara sadar. Selain itu agama Hindu juga mengajarkan jalan kepada kita untuk berhubungan dengan Yang Suci (Tuhan), untuk berhubungan dnegna diri kita sendiri (spiritualitas) dan untuk berhubngan dengan lingkungan, mahluk hidup dan alam di sekitar kita (etika atau moral). Agama Hindu juga mewajibkan kita untuk menghormati hidup, hidup kita sendiri dan hidup orang lain. Pada umumnya  agama Hindu atau orang-orang Hindu karena sikapnya yang sangat toleran. Dan,agama Hindu juga percaya dengan adanya Hukum Karmaphala. Dimana nasib manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. Ada agama yang percaya bahwa manusia hanya hidup sekali, setelah mati, menunggu hari kiamat. Pada saat itu manusia dibangkitkan kembali untuk diadili. Agama Hindu percaya pada Reinkarnasi, dimana manusia lahir kembali,diberikan kesempatan untuk menyempurnakan dirinya.


5.    Cara saya menyikapi terhadap adanya sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep saiva siddhanta adalah : Lemahnya pemahaman akan keberadaan agama Hindu yang benar, terjadi hampir di semua kalangan umat. Hal ini antara lain menyebabkan kehadiran Sampradaya menjadi masalah. Kalau saja benar cara memahaminya justru keberadaan sampradaya akan menjadikan umat Hindu memiliki banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran suci Veda. Dengan demikian tidak ada umat Hindu merasa tertekan kalau pilihan yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan tipe atau selera rohaninya. Kesalah pahaman seringkali dikarenakan adanya oknum pengikut sampradaya yang berbuat tidak sesuai dengan norma-norma lingkungannya. Demikian juga umat Hindu yang tradisional, karena kekurang pahaman, menganggap kehadiran sampradaya sebagai ancaman. Padahal umat Hindu tradisional itu pun tergolong sampradaya Siwa Sidhanta.
Muncul istilah sampradaya pertama kali ketika umat Hindu Indonesia khususnya dari Bali mulai mengadakan kontak dengan umat Hindu di India dan ketika kontak lebih intensif terjadi ada beberapa umat Hindu Indonesia yang mengikuti salah satu sampradaya yang berkembang di India. Di lain pihak, umat Hindu Indonesia, khususnya di Bali, sebagian khawatir kalau sampradaya ini berkembang dengan dalih akan mengganggu atau merusak tatanan agama Hindu yang sudah ajeg, sebagian yang lain menerima dengan antusias dengan alasan dinamika perkembangan agama Hindu tidak mandeg, mereka merasakan pencerahan sesuai dengan kebutuhan spiritual dewasa ini. Menurut Sivananda (2003:143), Hindu sangatlah universal, bebas, toleren dan luwes.
Hindu di dalam ajarannya memiliki bermacam-macam kelompok filsafat dari Wedanta seperti Waisnawisme, Saiwisme, Saktisme dan lain-lain, serta memiliki sejumlah kepercayaan dan aliran. Hindu lebih bersifat gabungan agama dari pada agama tunggal dengan keyakinan yang terbatas. Hindu adalah persahabatan dari keyakinan dan juga suatu gabungan filsafat yang memberikan hidangan guna perenungan bagi para pengikutnya. Para pengikut Sanata Dharma, Arya Samaj, Dewa Samaj, Jaina, Bauddha, Sikh dan Brahma Samaj semuanya adalah orang-orang Hindu, karena mereka berasal dari Hindusme dan menekankan pada satu atau beberapa aspeknya saja. Oleh karena itu Hindu sendiri merupakan gabungan atau percampuran dari berbagai aliran dan keyakinan (sampradaya) bukan merupakan suatu keyakinan tunggal saja.
Berdasarkan dasar ajaran agama Hindu Panca Sradha, kita mengenal ajaran Moksa yang mempunyai makna kembalinya roh individu kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan tersebut adalah Karma Marga, Bhakti Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga.

Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ‘va bhajamy aham
mama vartma ‘nuvartante
manushyah partha sarvasah

Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.

Bhagawad Gita Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi :
yo-yo yam-yam tanum bhaktah
sraddhaya ‘rchitum achchhati
tasya-tasya ‘chalam sraddham
tam eva vidadhamy aham

Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.

Catur Marga (empat jalan) yang harus dilaksanakan manusia dalam usahanya untuk mencapai tingkat kesadaran tertinggi yaitu kembali kepada Yang Maha Pencipta, merupakan satu kesatuan yang satu sama lainnya sangat berkaitan, sehingga keempat karma tersebut harus dipahami dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan Jnana (ilmu pengetahuan) tentang hukum ketuhanan yang ada dalam kitab suci sebagai dasar untuk meluruskan pelaksanaan marga-marga lainnya. Akan terdapat perbedaan yang kelihatannya kontradiktip dalam pelaksanaan sembahyang antara mereka yang masih dalam tahap menjalankan karma dan bhakti marga dengan mereka yang sudah dalam tahapan menjalankan raja marga. Sembahyang raga dan sembahyang rasa adalah bagi mereka yang masih dalam tingkatan karma dan bhakti marga. Sedangkan bagi mereka yang sudah dalam tahapan melaksanakan raja marga, cara sembahyangnya sudah pada tingkatan sembahyang cipta dan sukma. Mereka sudah bisa sembahyang dalam keadaan sedang bekerja, berjalan, duduk santai dengan pakaian yang sederhana, sambil ngobrol dan mereka cendrung terlihat aneh dimata kebanyakan orang.
Dan yang paling penting, perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan atau dipermasalahkan, karena hal ini sangat tergantung dari tingkat pemahaman (jnana) masing-masing orang. Akan tetapi satu kunci yang paling penting untuk dipahamidan dijalankankan, bahwa yang kita sembah adalah hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Absolut, tidak ada yang lain dan tidak melalui perantara siapapun baik itu dewa, bathara ataupun leluhur. Masing-masing individu bertanggung jawab mutlak kepada Tuhan atas karma yang dia laksasanakan di dunia, tidak ada orang lain yang bisa mewakili.
Adanya berbagai sampradaya-sampradaya  tersebut adalah suatu keindahan dalam Agama Hindu.Swami Siwananda menyatakan:Hinduisme menampung segala tipe manusia dan memberikan hidangan spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan pertumbuhannya masing-masing. Hal ini merupakan keindahan dari Agama Hindu yang menarik hati ini itulah kemuliaan Hinduisme. Oleh karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hinduisme.


PERKEMBANGAN SAIVA SIDDHANTA DI BALI

TUGAS SAIVA SIDDHANTA 1
PERKEMBANGAN SAIVA SIDDHANTA DI BALI
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H



Oleh :
Luh Apriantini
10.1.1.1.1.3831




JURUSAN  PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012


BAB I
PENDAHULUAN

Agama Hindu di India maupun agama Hindu di lain tempat misalnya di Jawa maupun di Bali tidak mempunyai perbedaan dalam inti keagamaannya yang berbeda hanyalah pada kulit luarnya saja yaitu tentang pelaksanaan upacaranya,sedangkan isinya dan intinya tetap sama. Ajaran Wedanya tetap abadi,intinya tidak berubah hanya bagian luarnya yang bervariasi,menyesuaikan dengan budaya setempat di mana agama itu berkembang. Ajaran ini berkembang di India Selatan dan  Indonesia terutama pada abab VII.Ajaran Ciwa Sidhanta ini menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh Tri Murti (Brahma,Wisnu dan Ciwa) dan Tri Purusa (Prama Ciwa,Sada Ciwa dan Ciwa).
 Ajaran Ciwa Sidhanta tentang konsepsi Tri Purusa atau Lingga ini diwujudkan juga dengan bangunan Padmasana di Bali. Perlu diketahui bahwa pengertian Tri Purusa dengan Tri Murti adalah berbeda. Karena Tri Purusa adalah lukisan Tuhan dalam arti posisi vertical (atas ke bawah) dimana Tuhan dilambangkan sebagai penguasa alam atas,alam tengah dan alam bawah (Prama Ciwa,Sada Ciwa dan Ciwa). Sedangkan Tri Murti adalah lukisan Tuhan dalam posisi horizontal (mendatar) atau sebagai penguasa arah,yaitu arah laut ialah Brahma,arah gunung ialah Wisnu dan di tengah-tengah ialah Ciwa.
Jadi dalam konsepsi kepercayaan Hindu Lingga adalah merupakan lambang kekuatan Tuhan dalam mencipta,memelihara dan melebur dunia ini atau Tuhan sebagai penguasa alam ini.  Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
















BAB II
PEMBAHASAN

Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya. Pengertian Tri Purusa yaitu lukisan Tuhan sebagai penguasa alam atas,alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan sebagai:
a)    Parama Ciwa (atas).
Parama Ciwa disebut juga Cetana atau Purusa yang dalam istilah umumnya kita sebut Tuhan. Keadaannya tanpa aktivitas ,kekal abadi,tiada berawal-tiada berakhir,ada dimana-mana,maha tahu dan di beri gelar Nirguna Brahman.
b)    Sada Ciwa (tengah)
Adalah Brahman yang sudah berkrida,Brahman yang sudah kena imbas dari Prakerti atau Acetana (sumber materi) sehingga mempunyai sifat,fungsi dan aktivitas dan diberi gelar Sada Ciwa atau Saguna Brahma. Pengaruh dari Acetana ini belumlah besar,sehingga bersifat setengah aktif,dipuja sebagai Tuhan yang sudah menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Kesaktian-Nya dilukiskan dalam Cadu Cakti Asta Aiswarya yang dipersonifikasikan dengan nama Dewa-Dewa. Jadi semua Dewa-Dewa adalah bentuk-bentuk dari personifikasi kesaktian dari Sada Ciwa.
c)     Ciwa (bawah).
Ciwatma adalah Parama Ciwa juga,tetapi dalam keadaan yang telah banyak terpengaruhi oleh Prakerti,sehingga sifat kemahakuasan-Nya berkurang dan pengaruh lupa bertambah. Ciwatma inilah yang memberikan hidup (jiwa) kepada semua mahluk hidup.
Cudamami (1990 : 59)

Sedangkan Tuhan sebagai penguasa arah laut (klod),tengah dan kaja (gunung) disebut Tri Murti,yaitu Brahma arah laut,tengah Ciwa dan gunung Wisnu. Jika diperhatikan realitas kehidupan agam Hindu di Bali,lebih menitik beratkan kepercayaannya kepada Tri Murti sebagaimenifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sang Hyang Widhi. Ketiga Dewa Tri Murti tersebut pada hakikatnya adalah lambing dari ketiga proses dunia,yaitu Cristhi (ciptaan) yang disebut Brahma,Sthiti (perlindungan) yang disebut Wisnu dan Pralaya (pengembalian pada unsur semula) yang disebut Ciwa. Ketiga tersebut disimboliskan dengan Aksara Suci “OM” yang terdiri dari Ang berarti Brahma,Ung berarti Wisnu dan Mang berarti Ciwa,jadi Ang+Ung+Mang sama denga “OM”. Hal tersebut sering terlihat pada setiap permulaan mantra dan “pemahbah” (permulaan) tulisan lontar-lontar di Bali yang dimulai dengan ucapan “Om Awignam Astu” yang artinya semoga atas nama Hyang Widhi dengan ketiga manifestasi-Nya terhindar dari mara bahaya.
 Sara Sastra (1994 : 56-57)

BRAHMA DAN WISNU ADALAH CIWA

Sudah merupakan hukum alam,bahwa yang lahir itu harus mati. Segala yang diciptakan pada waktunya nanti harus dipisahkan dan dihancurkan. Hukum ini tidak dapat dilanggar. Daya dibali keterpisahan dan penghancuran ini adalah Ciwa. Sebagai Dewata perwujudan Tuhan yang terakhir dalam Tri Murti,Ciwa bertanggung jawab terhadap penyerapan alam semesta. Ciwa merupakan perwujudan dari sifat Tamas,kecenderungan menuju pembubaran dan pelenyapan.
Pelenyapan atau penghancuran akan berakhir pada pengurangan tertingi berupa kekosongan alam semesta tanpa batas. Kekosongan dari segala keberadaan ini memunculkan alam semesta secara berulang-ulang,juga tanpa batas. Dan disinilah peranan Ciwa. Karena itu dikatakan bahwa Ciwa bukan saja bertanggung jawab atas penghancuran,tetapi terhadap penciptaan dan pemeliharaan keberadaan. Dalam hal ini maka Brahma dan Wisnu adalah juga Ciwa.
Maswinara (2007 : 38-40)

A.    SEKTE SIWA SIDHANTA   
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
B. SEKTE PASUPATA
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
C. SEKTE WAISNAWA
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
D. SEKTE BODHA DAN SOGATHA
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
E. SEKTE BRAHMANA
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
F. SEKTE RSI
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
G. SEKTE SORA ATAU PENYEMBAH SURYA
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.


H. SEKTE GONAPATYA
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
        I.SEKTE BHAIRAWA   
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Suhardana (2009 : 113-115)
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.
Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sa eko bhagavan sarvah
Siwa karana karanam
Aneko viditah sarwah
Catur vidhasya karanam
Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya
Kahidup makalaksana siwatattwa
Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.

Artinya :
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.

Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :
1. Om namah Sivaya sarvaya
Dewa-devaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah

Artinya :
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa
Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya
Kepada Rudra raja alam semesta
Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis

2. Twam Sivas twam Mahadewa
Isvara Paramesvara
Brahma Visnuca Rudrasca
Purusah Prakhrtis tatha

Artinya :
Engkau adalah Siwa Mahadewa
Iswara, Parameswara
Brahma, Wisnu dan Rudra
Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti
Tvam kalas tvam yamomrtyur
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah

Artinya :
Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu
Engkau adalah Varuna, Kubera
Indra, Surya dan Bulan
Planet, naksatra dan bintang – bintang
Prthivi salilam tvam hi
Tvam Agnir vayur eva ca
Akasam tvam palam sunyam
Sakhalam niskalam tatha

Artinya :
Engkau adalah Bumu, Air dan juga Api
Angkasa dan alam sunia tertinggi
Juga yang berwujud dan tak berwujud

Dengan contoh - contoh ini menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia.
Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini. Salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna.
Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoga dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tri Kaya Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang benar).
(Google:2012:12:3)
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda.
Weda menjadikan pemikiran-pemikiran cemerlang bagi orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu:
1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan.
Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.
Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.
Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKUL PUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang  Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.
Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
c. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
    Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua       sidang
     Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
     Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.
Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
    Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
    Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
    Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”. Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).


4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali. Di bidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling menonjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di Nusantara telah berkembang Agama lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap dapat bertahan pada Hindu karena agama Hindu telah membudaya mewujudkan jati diri orang-orang Bali yang mengagumkan dunia. Zaman sudah globalisasi, dunia yang tanpa batas, pengaruh budaya luar terus menerus menghantam ketahanan orang-orang Hindu. Bermula dari perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali dirubah menjadi Agama Hindu Dharma. Ini merupakan tonggak bagi sebagian kecil penduduk dari suku-suku: Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan pada keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam Hindu Dharma.
Dengan demikian Hindu Dharma akan mampu memberikan acuan yang lengkap mengenai Tattwa, Susila dan Upacara kepada saudara-saudara se-dharma di luar Bali, karena sudah ratusan generasi meninggalkan Hindu atau tidak bersentuhan dengan Hinduan seperti yang berkembang di Bali Hindu Dharma harus mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh ke enam tokoh suci yang disebutkan di atas. Karena Bali saat ini banyak sekali aliran-aliran bermunculan dan saling bertentangan seperti abad ke 10 sebelum kedatangan Mpu Kuturan di Bali.
Dalam perkembangan globalisasi saat ini Hindu Dharma sudah melakukan reformasi kelembagaan yaitu:
•    Parisadha Hindu Dharma secara khusus sebagai lembaga umat yang menangani masalah-masalah agama sehingga Tattwa , Susila dan Upacara menjadi sesuatu yang utuh sebagai manifestasi hubungan vertical (hubungan religius)
•    Lembaga Adat (Majelis Desa Pekraman untuk di Bali) secara khusus menangani masalah-masalah Adat sebagai manifestasi hubungan Horisontal.(hubungan social)
(Google:2012:12:3)

SUMBER-SUMBER AJARAN SIWA SIDHANTA
Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahasa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.

Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.



SAIVA SIDHANTA DALAM PELAKSANAAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI BALI
Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan,mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.

Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung beliau dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya. Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau.
 Beliau dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.
Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapap aspek kehidupan tersebut.
Pemujaan dilakukan dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali. Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk.

Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pangeder-ider Hindu Siwa Sidhanta di Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dan tiga Dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa yang disebut Tri Kona itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang. Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad kesebelas. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.
Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institute Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa itulah yang ditetapkan sebagai Pura Sad Kahyangan, karena saat Bali belum pecah menjadi sembilan kerajaan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927. Hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.
 Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di Candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat. Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad kesebelas. Candi bersayap seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim.
PURA LUHUR ULUWATU  SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DEWA SIWA RUDRA
Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sementara sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Padma Bhuwana Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya. Ida Pedanda Punyatmaja Pidada saat masih walaka pernah beberapa kali menjabat ketua Parisada Hindu Dharma Pusat menyatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu.
Karena itu, umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering sangat khusyuk memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.
Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental, salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma. Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa.
Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu. Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Danghyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi. Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu Patung Brahma, Patung Ratu Bagus Dalem Jurit dan Patung Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja. Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu.
Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa Pura Prasanak atau Jajar Kemini. Pura Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak. Pura Prasanak ini merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pura Luhur Uluwatu. Pura Prasanak tersebut berada dalam radius sekitar lima kilometer Pura Luhur Uluwatu. Karena itu dalam radius lima kilometer tersebut hendaknya jangan ada bangunan atau fasilitas yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu beserta dengan Pura Prasanak -nya. Dapat saja beberapa hal diadakan dalam radius kesucian pura tersebut sepanjang keberadaan bangunan tersebut dalam rangka memperkuat eksistensi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filosofi Pura Luhur Uluwatu.
PADMA TIGA DI BESAKIH SEBAGAI KONSEP TUHAN SIWA
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha. Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang winastwan ikang sukha.
(Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa.50)
Maksudnya:
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.
Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988. Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa.
Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.
Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.
 Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan.
Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina.
Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya pada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing. Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan konsep asih.
Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka Dasa Ludra.Upacara padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu.
Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Bangunan suci atau Pelinggih yang utama di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang disebut Gedong Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut pepelik untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada juga bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan tempat menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar. Di samping itu, ada juga beberapa peninggalan batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu itu mungkin bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau peninggalan sarana pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum muncul dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata tidak eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan sarana peninggalan Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat seperti yang kita jumpai di beberapa bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih.
Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya Siwa Pasupata tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Siwa Sidanta, tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak diperlakukan semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana sementara Ida Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara? Dalam kegiatan ritual keagamaan yang bersifat rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara Melasti simbol perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu dilakukan di Besakih umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten Klungkung, ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun dilakukan upacara Melasti. Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau ke Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan ini. Saat berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura Pesimpangan itu disimbolkan sebagai stana sementara Ida Batara di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa Bali yang artinya singgah.
Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah sementara dari Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura Penataran Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat kembali ke pelinggih semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar kecilnya sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi. Untuk mempersiapkan sesaji itu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah iring-iringan Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti sejenak di Pura Pesimpangan.
Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih seperti sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui siap dan tidaknya penyambutan iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih. Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah dekat dengan Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura Pesimpangan suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung. Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu menyangkut ritual sakral penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu sudah dapat mulai dipersiapkan. Setelah berhenti beberapa jam lamanya di Pura Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju Penataran Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan.
Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih Limas Catu ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong Pertiwi tempat pemujaan leluhur umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung Agung di Besakih. Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung sebagai pesimpangan Ida Batara di Gunung Batur. Limas Catu dan Limas Mujung wujud umumnya sama tetapi yang berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan tersebut. Kalau Limas Catu puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin mengecil yang dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang ada ukirannya.
Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media memuja Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih memohon kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi adalah untuk memuja memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat pemujaan umat pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena itulah ada Pelinggih Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud Limas Catu dan Limas Mujung. Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat dibuat dalam wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan jagat masyarakat umat Hindu umumnya tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih dalam keluarga yang lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih Limas Catu namanya. Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di Besakih sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti dinyatakan dalam petikan Kekawin Dharma Sunia di atas.
(Google:2012:13:3)
PURA GOA GAJAH SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DEWA SIWA
Tri Purusa di Goa Gajah
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhka.
Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit tanpa tungtung.
Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan tan wenang
winastwan ikang sukha, salah linaksanan.
(Wrehaspati Tattwa.50).
Maksudnya:
Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Paramasiwa Tattwa adalah kebahagiaan yang bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak benar bila diberi ciri-ciri.
Di Pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata. Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana. Delapan dewa di masing-masing bhuwana itu adalah sebagai dewa manifestasi dari Siwa. Dalam buku ”Penuntun ke Objek-objek Purbakala” oleh Prof. Drs. I Gst. Gde Ardana dinyatakan tiga Lingga di Pura Goa Gajah itu ada yang menduga sebagai simbol pemujaan Tri Murti. Dugaan itu sepertinya kurang nyambung dengan konsep pantheon Hindu.
Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunan-bangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.
Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini. Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma.
 Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi. Di tengahnya ada arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan. Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.
Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan perkebunan. Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi. Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang.
 Karena itu di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung Batur. Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya Hindu lainnya. Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak.
 Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang anak-anak. Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura Goa Gajah.
Toleransi Beragama di Pura Goa Gajah Di Pura Goa Gajah ada tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Apa dan bagaimana konsep dan misi pembangunan Pura Goa Gajah tersebut?
  Tiga bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa Gajah ini sungguh sangat menarik untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern dengan teknologi hidup yang serba canggih. Yang patut dikaji adalah sikap toleransi leluhur orang Bali pada zaman lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa Pasupati memang ada perbedaannya dengan agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi substansi keagamaan Hindu tersebut adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah munculnya agama Buddha pun berasal dari proses pengamalan ajaran suci Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan pada arah beragama ke dalam diri sendiri. Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani, sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga dengan orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan cara Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.
Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai keadaan yang ”Pasupata”. Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan kata Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata atau Pasupati artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa secara bertahap seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah dapat menguasai diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar dalam menempuh cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau itu. Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Ini artinya penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda.
Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi. Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang berbeda sistem penekanan beragamanya. Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali. Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan nafsu tersebut. Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang dipertentangkan itu. Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.
(Google:2012:14:3)





































BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan
Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadap aspek kehidupan tersebut.
Pemujaan dilakuakn dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali.
 Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk. Dalam lontar Bhuwanakosa dikatakan bahwa semua yang ada ini muncul dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga. Dengan demikian maka Bhatara Siwa adalah sumber segala yang ada, sama halnya dengan Brahman dalam Upanisad.
Yatottamam iti sarvve, jagat tatva vva liyate, yatha sambhavate sarvvam, tatra bhavati liyate. Sakwehning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya. (Bhuwanakosa III, 82).
Semua dunia ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali pada Bhatara Siwa juga. Segala yang muncul dari Bhatara Siwa itu sifatnya maya, bukan yang sesungguh nya dan merupakan dunia phenomena, yaitu dunia gajala yang tampak untuk sementara saja. Ibarat tampaknya bayang-bayang pada cermin, yang tampaknya saja ada namun sesungguhnya tidak ada, dan yang sesungguhnya ada berada di balik bayang-bayang itu. Adapun yang sembunyi di balik dunia ini, yang bersifat langgeng, hanyalah Bhatara Siwa sendiri.
3.2.  Saran
Sebagai mahluk ciptaan yang paling utama hendaknya kita menjaga / memelihara dunia ini dan menjaga hubungan yang harmonis antara sesama. Semua ajaran tentang ke-Tuhanan sangat perlu kita pelajari agar kita dapat berbuat demi kemakmuran dunia. Seperti halnya ajaran Saiwa Siddhanta yang mengajarkan kita untuk memelihara dunia tempat kita terlahir, tumbuh, dan mati nantinya.









DAFTAR PUTAKA
Suhardana,Komang.2009.Tri Murti Tiga Perwujudan Utama Tuhan. Jakarta:  Paramita
Cudamani.1990.Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi.Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi
Sara Sastra,Gede.1994.Konsepsi Monotheisme Dalam Agama Hindu.Denpasar: Upasada Sastra
Google:2012:12:3
Google:2012:13:3