Minggu, 19 Januari 2014

KONSEP PENYATUAN SIVA SIDDHANTA DI SANGGAH PAMERAJAN PASEK KAYU SELEM DESA JOANYAR KECAMATAN SERIRIT KABUPATEN BULELENG

SIVA SIDDHANTA II
KONSEP PENYATUAN SIVA SIDDHANTA DI SANGGAH PAMERAJAN PASEK KAYU SELEM DESA JOANYAR KECAMATAN SERIRIT KABUPATEN BULELENG
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S. Pd. H




IHDN Denpasar
Oleh :
Nama    : Luh Apriantini
NIM    : 10.1.1.1.1. 3831
Kelas    : PAH A / Semester V


Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2012

I. PENDAHULUAN
Hindu Bali identik dengan pura, sanggah atau merajan. Disetiap rumah orang Bali Hindu memiliki bangunan suci yang disebut dengan sanggah atau merajan sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan pemujaan Leluhur. Sesuai dengan konsep Mpu Kuturan yang dirumuskan dalam piagam Samuantiga. Merajan sendiri dikatakan sebagai kesatuan bangunan yang mencerminkan penyatuan dari berbagai aliran atau sekta. Dengan mengetahui sejarah pembangunan merajan tersebut, paling tidak dapat dijadikan sebuah pedoman bagi kita di masa kini, bahwa leluhur kita sekitar seribu tahun yang lalu telah mampu menyelesaikan masalah keberagaman sekte yang timbul dimasyarakat dengan sangat bijaksana, sehingga persatuan dan kesatuan masyarakat masih tetap terjaga.
Merajan atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsepsi Tri Angga, Tri Mandala dan Tri Hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Dasar dari Tri Angga merajan adalah sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang diibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan atau pekaranganitu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari stuktur badan manusia, seperti kepala, badan dan juga kaki. Dasar dari Tri Mandala itu sendiri adalah merajan sebagai utamanya, sedangkan keluarga adalah madyanya dan nistanya adalah pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur ataupun utara. Kaja kangin, timur laut. Jika arah timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alasan seperti tempatnya agak pendek, dihujani cucuran air tetangga dan juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersihan, maka tempat tersebut dapat ditinggikan menjadi merajan. Dasar Tri Hita Karana jugaberbicara dalam merajan ini. Merajan adalah sebuah tempat dimana prahayangan tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu.
Dengan memahami hakekat dari merajan serta sejarah pembangunannya, semestinya kita sebagai generasi yang baru tumbuh seribu tahun kemudian, mestinya tak perlu berpikir tentang aliran ini dan itu, karena semuanya telah disatukan oleh para leluhur kita dalam sebuah konsep yang disebut dengan sanggah atau merajan. Dalam jaman seperti sekarang ini semestinya merajan kembali difungsikan sebagai pemersatu umat atau pemersatu keluarga selain sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya dan sebagai tempat pemujaan leluhhur.
Jadi mengapa kita harus memalingkan diri ke segala arah mencari-cari sesuatu yang baru lagi, padahal semuanya sudah dikemas atau disatukan oleh leluhur kita di Bali yang disebut dengan sanggah atau merajan. Langkah yang paling bijak untuk saat ini adalah berpaling kembali kesanggah atau merajan masing-masing untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur. Karena para leluhur kita memang sudah jauh lebih bijaksana dibandingkan dengan generasi sekarang ini. Jadi tugas kita adalah melanjutkan dan mempertahankan apa yang sudah digariskan oleh para leluhur melalui Bhisama dan ajaran-ajarannya. 

II.  PEMBAHASAN
2.1.    SEJARAH PASEK KAYU SELEM
Mpu Mahameru yang datang ke Bali untuk menghadap Hyang di Gunung Agung, terutama Hyang Kasuhun yang berkedudukan di Gunung Lempuyang. Setibanya di Bali langsung menuju Desa Kuntulaga yang selanjutnya ke Tampurhyang, disana beliau melepaskan lelah. Maksud beliau membersihkan diri karena disana “Tirta Pawitra” yang kemudian beliau menyucikan diri dengan merapalkan weda “ astawangranu”. Setela beliau membersihkan diri, lalu beliau berangkat dan tampak oleh beliau patung yang sangat rupawan bagaiakan wajah bidadara. Hyang Maharesi berbelas kasihan melihat keadaan patung itu. Beliau berpikir, mungkin telah menjadi kehendak Hyang Widhi lalu disana beliau melakukan yoga dengan sikap penuh keluhuran budi yang membuat patung tersebut benar-benar menjadi manusia sejati.
Patung yang berubah menjadi manusia itu segera menyembah Sang Maharesi : “Mohon ampun jungjungan hamba, Sang Mahamuni siapa yang berbelas kasihan kepada hamba yang menjadikan manusia “. Sang Maharesi segera menjawab “ Tiada lain aku yang “ mastu “ engkau sehingga engkau perperujudan manusia. Menundukkan kepala dan sungkem menyembah. Manusia reka tersebut memeluk kaki si pendeta menciumnya sambil matur “ Siapa sebenarnya diri paduka “. Si pendeta menjawab “ Aku dari Jambudwipa putranya Bhatara Hyang Gnijaya dari Gunung Lempuyang, dan aku bernama Mpu Mahameru”. Kembali patung itu berdatang sembah “ Mohon ampung oh jungjungan hamba, Sang Kasuhun yang bagaikan tirta Sanjiwani, bagaimana cara hamba membayar hutang kepada paduka, bagaikan langit dan bumi jika hamba perbandingkan, kini hamba memohon tuluskanlah belas kasih paduka kepada hamba sekarang ini, agar membersihkan kotoran diri hamba ini dari segala kecemaran sampai di bagian dalam yang sampai ke masa yang akan datang. Tiada lain permohonan hamba ialah “ asurud ayu” agar dapat meniru langkah Paduka Jungjungan hamba “. Sabda Maha pandita “ Tiada sewajarnya aku ini beranugrah “asurud ayu “ pada dirimu. Apa yang menyebabkan seperti itu, karena engkau bukan berasal dari manusia sebenarnya, maka tiada sewajarnya Sang Hyang Aji memberikan dirimu ”.
Mendengar kata si pendeta, lalu menetes air matanya sambil menyembah “ Singgih Paduka Hyang Kasuhun, tiada lain hamba ini dengan sangat memohon belas kasihan Paduaka kepada hamba, jika tiada rasa kasih Paduka menganugrahi hamba, mohon hamba ini dikembalikan agar seperti sediakala, kembali sebagai pangkal kayu. Hamba sangat malu sebagai manusia yang tiada memahami peraturan “. Demikian hatur si manusia reka membuat si Mahresi terdiam, beliau kebingungan. Yang kemudian suram cahayanya matahari masih memikirkan dalam hati. Kemudian terdegar sabda dari angkasa sebagai berikut “ Anakku engka Sang Maharesi, janganlah berpikir seperti itu, sewarnya anakku berbincang-bincang dengan si pangkal kayu. Apa yang membuat demikian, karena anakku menyucikan sehingga menjadi manusia. Janganlah anakku ragu dan khawatir aku yang mengijinkan dirimu “. Demikianlah sabdanya Hyang Bhatara dari angkasa.
 Mpu Semeru berpikir yang kemudian kembali beliau bersabda “ Duhai engkau pangkal kayu yang telah direka, benar-benar engkau berkat Dewata pada waktu dahulu, yang berubah wujud  “ Tawulah” sewajarnya engkau menjadi manusia mahautama. Kini dekatilah aku, kini aku beranugrah kepadamu “. Si kayu reka “ menjawab sambil menyembah “ Hmba menjungjung perintah Paduka”. Sabda Sang Maharesi “ Anakku “ kayu reka “, kini dengarkanlah kata-kataku. Namun janganlah sampai menyimpang salah melaksanakannya, karena dirahasiakan oleh Sanghyang Ongkara. Bukalah telinga dan dengarkan, inilah anugrahku, terimalah, wastu, 3, tan pariwastu, sidhir astu “. Si kayu reka “ berdatang sembah “ Telah rampung dimasukkan oleh hamba bagaikan benar-benar berada di niskala “. Dijawab oleh Maharesi “ Anakku “Taru Reka “ jika demikian, ini ada kata-kataku kepadamu dan engkau ku restui sebagai gurunya orang-orang Bali Aga. Inilah arti dari “ Aji Purana “ terutama “wedastawa” dan sewajrnya engkau selaku Bujangga Bali Aga sampai pada keturunanmu yang ketiga kalinya. Dan ada petunjukku kepadamu jangan dilupakan, yang harus engkau sampaikan kepada keturunannmu agar mereka dikemudian nanti agar jangan sampai melupakan leluhur dan tentang yang menjadikan dirimu.
Dikemudian hari nanti ada keturunanmu  yang diturunkan oleh kakakku Mpu Gnijaya, maka sewajarnya para keturunannmu menyembah kepada para keturunanku. Sebaliknya para keturunanku tiada wajar menyembah keturunanmu. Lalu apa yang menyebabkan demikian, karena hal itu disebut “ guru putra “ terutama penjelmaanmu berbeda dengan penjelmaanku. Lain dari pada itu karena anakku berasal dari kayu yang direka telah diupacarakn “ padgala ”. Kini engkau bernama Mpu Bandesa Dryakah. Dibolehkan engkau menerapkan “ wedha astupungku ” legkap dengan “ prelina pangentas ”. Yang boleh engkau entas adalah orang-orang Bali Aga keseluruhannya. Mpu Dryakah siap mengiringkan semua wejangan Sang Adiguru yang tiada boleh ditentang. Kembali Hyang Sinuhun bersabda “ Anakku Sang Dryakah ada lagi pesan ayahmu, dikemudian nanti jika datang hari kematianmu, “ diupacarakan pratista ” oleh para keturunanmu maka tiada  boleh “ asta pungku” oeh seorang Brahmana dan “ mangentas” harus naur di Kahyangan. Lalu apa yang menyebabkan demikian. Karena engkau bukan berasal manusia sejati. Jika telah para keturunanmu mengupacarakan mayatmu harus melakukan upacara “ pitra yadnya ” namun hanya sebanyak tiga keturunan. Setelah itu harus ditangani oleh Rsi Siwa Budha upacara yang engkau lakukan. Demikianlah jangan dilupakan dan sampaikan pila kepada para keturuanmu, sangat berbahaya jika melanggarnya akan terkena kutukannya Batara Kasuhun Kidul.
Demikianlah wejangan Mpu Mahameru kepada murid beliau. Adapun beliau Mpu Dryakah lalu menyembah. Menjungjung titah beliau yang merupakan “ cudamani “. Bukan main bahagia hatinya, karena telah mendapat anugrah bagaikan tersiram “ mretha “ jika diumpamakan yang menyusup kedalam pikiran. Sangat banyak jika disebutkan prilakunya “ Asurus ayu “, karena telah sirna dijaga oleh Sang Mahadharma. Disebutkan beliau Mpu Mahameru memberikan wejangan orang-orang Bali Aga yang merupakan pemberian kepada yang disebut orang Bali Krama. Adapun sabda beliau “ Siga manusia, engkau yang berasl dari pohon kelapa gading bukan manusia sejati, kini aku memberitahuakan kalian. Dikemudian nanti jika tiba hari kematianmu, kemudian diupacarakan oleh para keturunanmu, harus dibakar. Setelah dibakar harus ditanam itu yang disebut atau dinamakan “ wangsa karma tambus “ seharusnya Bujanggaku ini Mpu Dryakah yang “ ngentas “ engkau. Setelah itu seharusnya engkau “ metres matuwun “. Demikianlah jangan dilupakan. Jika melebihi dari ketentuan itu maka akan kena kutukan dari Sang Batara Kasuhun Kidul, dan akan engkau kembali menjadi Ki Barakan seperti dahulu yang berasal dari tanah dimana para keturunanmu tiada wajar membakarnya. Hanya boleh ditanam saja. Dikemudian hari nanti disebut atau dinamakan ngirim diatas bangbang berbentuk orang-orangan, itulah yang disebut mabia tahenan. Jika ada mresteka itu disebut matuwun. Demikianlah kebajikan seorang Bali Aga dan inilah Bujanggamu Mpu Dryakah yang wajar “ ngentas “ engkau. Semua itu jangan dilupakan, jangan menyimpang, karena sangat berbahaya, karena akan sangat membuat murka Sang Kasuhun Kidul dan membuat sedih Sang Hyang Atma.
Lagipula jika engkau berbincang-bincang kepada Bujangga Bendesa Dryakalah seharusnya menyebut Jero Gede. Demikian agar kalian jangan melupakan. Dalam keadaan turun temurun jangan dilupakan. Beritahukan keturunanmu agar menjadi warisan samapi dikemudian hari nanti. Demikianlah wejangan Sang Mahamuni Mpu Mahameru kepada orang-orang Bali Aga yang siap menjungjung  segala wejangannya Mpu Mahameru. Kembali Dang Guru memberikan wejangan kepada Bandesa Dryakah “ Anakku Bandesa Dryakah, kini engkau dinobatkan sebagai Bagawan maka mendekatlah kepada diriku “. Mpu Dryakah segera menghadap dan setelah katapak, Mpu Dryakah lalu “ nyilapin “ telapak kakinya Sang Adiguru. Ada lagi anugrah beliau yang dibisikan di telingan Mpu Dryakah yang tak boleh disebutkan karena dirahasiakan oleh Sangyang Ongkara mantra dan sabda Hyang Adiguru “ Anakku Sang Mpu Dryakah, apakah engkau telah mendengarnya “.
Mpu Dryakah lalu berdatang sembah “ Singgih Jungjungankku, telah jelas didengar oleh murid Sang Kasuhun “. Anakku Sang Dryakah, kini aku mengganti namamu dan kini engkau bernama Mpu Kamareka karena Sanghyang Manmata diwaktu dahulu menguparakan sebagai Bagawan. Demikianlah jangan dilupakan dan kini aku meninggalkanmu, engkau pergi menghadap Paduka Batara yang berkedudukan di Gunung Agung terutama beliau yang berkedudukan di Gunung Lempuyang “. Mpu Kamareka segera berdatang sembah serta mencium kakinya Dang Guru, karena demikian pelaksanaan kebaktian yang tulus. Demikianlah riwayatnya dahulu yang menyebabkan adanya Bujangga di Bali. Kini disebutkan kembali beliau  Mpu Mahameru yang meninggalkan atau pergi dari Tampurhyang. Segera beliau berangkat tanpa halangan dengan menyusuri  Gunung Tulukbyu dan segera tiba di Besakih. Setibanya beliau di Basukih, lalu beliau merapalkan “ weda astawa “ yang terdengar suaranya gentanya bagaikan kumbang mengisap sari, serta menghaturkan “ pangalpika “, terdengar pantulan suaranya ke langit ditaburi hujan kembang serta “ weda panjaya-jaya “ yang dilakukan oleh Hyang Batara.
Maka keluarlah Batara Putrajaya yang dihadap oleh Mpu Semeru, tiada disebutkan tentang apa yang dibicarakan kerena kesucian yang maha sempurna yang disebut “ mahasunia ” yang pada akhirnya Sang Maharesi berpamitan dari Basukih yang langsung ke Gunung Lempuyang menghadap Paduka Batara Hyang Kamimitan. Tiada disebutkan selama beliau berada di perjalanan, karena perjalanan beliau “ mapelinggihan kayun “. Setibanya beliau di Gunung Lempuyang, segera beliau merapalkan “ wedastawa “, menyembah terdengar gemuruh suara genta beliau dengan mengedepankan “ pasepan “ tampak mengepul asapnya “ pasepan “ sampai ke langit, ditaburi berbagai kembang serta weda panjaya-jaya, seram tampaknya seluruh penjuru kemudian keluarlah Batara Gnijaya yang berada di langit yang dihadap oleh Sang Muniwara. Tiada dapat disebutkan tentang percakapan kedua beliu itu, karena disebavkan oleh rasa kasih kepada putranya.
Demikianlah ceritanya dan setelah beberapa lamanya Sang Mahamuni berada di Bali mengiringkan Batara Tri purusa, yang berkedudukan di Gunung Agung, di Lempuyang dan di Ulun Danu, lalu Sang Mahameru mendirikan atau membangun Kahyangan diiringkan oleh orang-orang Bali Aga terutama oleh Mpu Kamareka. Bukan main kesempurnaan bentuk-bentuknya Kahyangan beliau ketiga para Batara tersebut. Pada saat itu yang kemudian adanya “Sad Kahyangan” Basukih, di Gunung Lempunyang, dan di Ulun Danu yabg kemudian Mpu Mahamerumundur beliau “mengajawa mangabali” yang kemudian manyusun/menulis tentang ketentraman kedua pulau itu terutama ketentraman Kahyangannya Batara Tripurusa demikianlah penjelasan yang tercantum di dalam usana.      
Disebutkan kembali beliau Mpu Mahameru yang melakukan yoga di Tampurhyang yang sagat tekun pelaksanaan yoganya demi melaksanakan perintah Sang Abra Sinuhun tanpa ada yang menyimpang dengan apa yang diwejangkan dahulu. Terdapat gundukan tanah “ nenggel “ di Tampurhyang yang diberi nama “ Gwa Song “. Di tempat it Mpu Kamareka melakukan Samadhi. Tanpa halangan beliau menghiningkan cipta dengan menghadap ke rah Timur berhadapan dengan mulut goa tersebut dan bukan main tekun pelaksanaan yoga beliau. Entah telah berapa lamanya beliau melakukan Samadhi selama setahun tujuh hari beliau mengheningkan cipta mewujudkan Sanghyang Ongkara Martha yang berada di padma hredaya. Lalu datang Batara Brahma yang segera kesanggra oleh beliau. Inilah sabda Hyang Batara Brahma “ Engkau Mpu Kamareka terimah anugrahku kepadamu diantaranya : “Tatwa Diatmika Pralina “, namun waspadalah engkau memegangnya Sanghyang Ongkara. Jah Tah Mat wastu, 3, tan pariwastu menyusup sampai ke pemikiranmu. Ada lagi yang meruapak nasehatku kepadamu, dikemudian nanti ada seorang wanita yang sangat cantik datang, maka itulah jodohmu. Dikemudian nanti jika ada keturunanmu yang lahir dari wanita itu berilah dia nama Si Kayu Selem, itulah merupakan pesanku “.
Selanjutnya Hyang Batara lenyap dari pandangan. Mpu Kamareka merapalkan weda pemujaan dengan pikiran sangat gembira bagaikan diruntuhi “ Tirtha Sanjiwani “ yang menyusup kedalam pusat pikirannya. Sangat banyak jika diceritakan prihal beliau itu.  Entah berapa lama kemudian, kembali Mpu Kamareka mengheningkan cipta, menyiapkan pasepan yang menyala-nyala apinya dengan bau sangat  harum sampai ke tempat sepi, membuat para widyadara-widyadari pada ributdan para Dewata, Rsigana suram samapai ke angkasa yang kemudian tiba-tiba keluar Sanghyang Pranacintya dari atas langit diiringi hujan kembang. Kemudian terdengar sabda “ Hai Kamareka, benar-benar engkau Mpu Kulawanngsa, tak terbandingkan ketekunan samadhimu. Kini ada pemberianku kepadamu, sisanya “ Tirtha Kamandaka “ merupakan air penyucian. Inilah aksaranya dan kini terimalah. Namun jangalah disebarluaskan dan jangan salah dalam melaksanakan, rahasiakan di dalam hatimu “. Setelah itu lenyaplah Hyang Batara yang dengan secepatnya Mpu Kamareka menghaturkan sembah disertai dengan “ Pangalpika “. Bertambah-tambah kegembiraan hatinya Mpu Kamareka bagaikan kesejukan di tengah samudra.
Kini disebutkan para bidadari yakni yang bernama Bidadari Kuning yang diperintahkan oleh Batara Indra turun ke mayapada ke Tampurhyang yang selaku jodohnya Mpu Kamareka. Setibanya di Gwa Song yang segera dilihat oleh Mpu Kamareka yang segera mengajukan pertanyaan “ Duhai engkau seorang yang sangat cantik, dari manaasalmu datang ke tempat ini menyusup ketengah hutan dan siapa namamu, dimana tempat tinggalmu, siapa ayah dan ibumu, tampak bagaiakan kebingungan. Kalau boleh aku mengetahuinya, katakanlah kepadaku yang sebenarnya “. Beliau yang baru datang lalu menjawab “ Singgih Mpuku hamba bidadari dari Indraloka “. Mpu Kamareka bertanya kembali “ Apa tujuanmu mendatangi diriku “.  Dijawab oleh beliau yang baru datang “ Mohon ampun Mpuku, tiada lain hamba ini bepergian berkeliling Bali amurang-murang lampah memasuki daerah Bali mencari tirtha pawitra, kemudian terlihat oleh hamba adanya bayangan cahaya bercampur dengan asap, itu yang membuat hamba datang ke tempat ini.
Mpu Kamareka kembali menjawab “ Singgih engkau yang bagaikan nadi putrid apa yang menjadi tujuan mencari tirtra pawitra “. Bidadari Kuning lalu menjawab “ Singgih Sang maha Pangempuan, dahulu hamba ketika berada di Sorga berbincang-bincang dengan watek Gandarwapati, hamba bermaksud dibencanai namun tiada berhasil, karena merupakan tujuan yang ingin dicapai, itu yang membuat hamba pergi dari Sorga amurang-murang lampah dengan maksud metirtha gamana yang kemudian bertemu dengan Sang Munimara di tempat ini “. Mpu Kamareka lalu menjawab “ Sangat baik jika demikian, jika boleh marilah bersama-samaku di tempat ini menanggung derita “. Bidadari Kuning menjawab “ Singgih Mpuku hamba ini dari Sorgaloka diperintahkan oleh Hyang Indra karena hamba tiada yang ingin hamba dapatkan. Itulah sebabnya hamba berkelana datang ketempat ini karena hamba teringat kepada Hyang Batar waktu dahulu. Di tempat ini konon jodoh hamba. Itulah sebabnya hamba mendatangi Mpuku kini. Kini hamba bertanya kepada Mpuku, kalau berkenan katakanlah kepada hamba dengan sebenarnya. 
Mpu Kamareka terdiam, tiada tahu apa yang harus beliau perbuat, binggung pikiran beliau bagaikan diiris dan dikuasai oleh saktinya nafsu keinginan pada akhirnya beliau berucap serta “ gegetan “, “ Duhai permata hatiku engkau Jungjunganku, tak lain kakak selaku jodohmu, aku juga mengetahui ucapan Hyang Batara dahulu bahwa bidadari jodohku, sehingga kakak menunggu adinda “. Segera menundukkan kepala bidadari Kuning yang segera dipangku dan dicium bertubi-tubi, karena bagaikan dijatuhi madu pikiran beliau “ Permata hatiku engkau jungjunganku, tuluskanlah belas kasihmu kepadaku, segala yang meriupakan perintah adinda aku tiada menolak, walau sampai tujuh kali penjelmaan senantiasa kanda mengiringkan engkau yang tak ubahnya stanuh. Selanjutnya Mpu Kamareka menggigit serta mencium yang kemudian menjawab beliau yang tak ubahnya madu mentah dengan mata yang menahan air mata  “ Sinngih Mpuku, janganlah gregetan siapa yang dihari kemudian apabila kanda dalam keadaan santosa hamba mengiringkan sang namuni. Namun ada permintaan hamba, jika sang Mahamuni setelah bersuami istri denganku, maka Sang Mpu tiada boleh menolak perintahku, karena demikian kebiasaan di Sorga “. 
Mpu Kamareka menjawab “ Adidanku si cantik jelita, jika demikian permintaan adinda, kanda siap memenuhi janganlah adinda merasa ragu “. Lalu bidadari Kuning dirangkul dan dibawa ketempat tidur. Sangat banyak jika diceritakan keadaan beliau itu di dalam memadu asmara di tempat tidur, keduanya telah merasakan kenikmatan di atas kasur yang berbau harum hingga sulit dapat dihitung dan rukun kedua beliau itu sebagai suami istri. Demikianlah tingkah lakunya tentang  Mpu Kamareka memperistrikan bidadari.
Diceritakan kembali perjalan beliau Mpu Mahameru. Setibanya Mpu Mahameru di pulau Jawa yang berangkatnya dari Basukih dan Tampurhyang, lalu beliau menghadap dan berbincang-bincang dengan para saudara-saudara, terutama kakak beliau yakni : Mpu Gnijaya, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bradah. Selanjutnya Mpu Gnijaya bersabda “ Adikku Sanghyang Semeru mengapa terlambat engkau datang, telah merasa lesu Batara Putrajaya menunggu kedatangan adinda. Aku sendiri bersama adik-adikku kesemuanya juga menunggu kedatanganmu “. Mpu Mahameru lalu menjawab “ Mohon dimaafkan kedatangan hamba dari Tampurhyang. Karena hamba mengasuh untuk menyucikan diri lalu menemukan patung kayu. Hamba berkeinginan untuk melihatnya dan menjaya-jaya di daerah pegunungan itu. Setela itu, ada terdengar suara dari langit yang memerintahkan hamba menjadikan tunggal “ tattwa jnyana “. Maka terjadi adanyan Bujangga orang Bali Aga itu dan membuat wangsa Balikrama. Semua itu yang membuat hamba terlambat datang “.
Mendengar semua yang telah dikatakan oleh Mpu Mahameru, membuat kagum sang catur tirta mendengarnya yang kemudian di jawab oleh Mpu Kuturan “ Setelah hamba mendengar tentang kedatangan paduka Jungjunganku, telah dapat menghadap Hyang Batara yang berkedudukan di Gunung Agung serta Batara Kamimitan di Gunung Lempuyang “. Mpu Semuru lalu menjawab “ Adikku telah datang kakakmu  menyembah Hyang Purusa menghaturkan bahwa kakak beliau telah membangun kahyangan di Bali serta memberikan bimbingan kepada orang Bali tentang kebajikan Balikrama, kini apabila telah dapat diterima pendapatku, mari kembali datang ke pulau Bali untu menjaga kahyangan Hyang Tripurusa namun masih menunggu hari yang baik “. Dengan serentak Sang Mahatirta berdatang sembah “ Sangat baik jika demikian “.
Entah telah beberapa lama kemudian Mpu Kamareka memperistrikan Bidadari Kuning hingga hamil. Setela berumur tau kandungan bidadari Kuning, si bayi bergerak-gerak di dalam perut beliau yang kemudian lahirlah dua orang putra beliau, laki-laki dan perempuan yang elok rupawan wajahnya dan membuat bukan main senang ayah dan bundanya. Selanjutnya diupacarai sesuai dengan upacara seorang manusia. Yang laki-laki bernama Ki Kayu Selem dan yang perempuan bernama Ki Kayu Cemeng. Demikianlah tentang kelahirannya dahulu, dan sangat banyak jika disebutkan keadaannya. Kini disebutkan bahwa keduanay telah berumur dewasa. Selanjutnya Ki Kayu Selem berdatang sembah  kepada ayahandanya “ Singgih Jungjunganku ayahanda, kini anakda telah dewasa, lali dimana adanya orang yang selaku pendamping, apabila dibenarkan mohon diberikan petunjuk agar anakda segera mempunyai istri akrena keinginan anakda berada di daerah pegunungan “.
Jawaban dari Mpu Kamareka “ Anakku Kayu Ireng, tak ada lain orang yang menjadi istrimu adalah Ni Kayu Cemengkarena dia adalah jodohmu sejak masih berada di dalam perut, hanya tinggal menunggu hari yang baik. Si Bidadari Kuning menjawab “ Anakda apa yang telag dikatakan ayahandamu janganlah kehilangan akal “. Hatur Ki Kayu Ireng “ Hamba mengiringkan petunujuk ibunda, namun anakda berharap agar secepatnya dilaksanakan “. Demikianlah keputusan perbincangan Mpu Kamareka dengan anaknnya dan dengan Bidadari Kuning. Beberapa kemudian pada “dewasa ayu “ lalu dilakukan upacara perkawinannya Ki Kayu Ireng dengan Ki Kayu Cemeng. Yang bukan main kemesraannya di tempat tidur, karena sama-sama pandai dalam hal memadu kasih. Demikianlah keterangan asal mulanya yang disebut Pasek Kayu Selem yang berkembang di pulau Bali.
Kini disebutkan beliau Mpu Mahameru yang datang atau turun ke Bali menghadap Paduka Batara di Basukih terutama di Lempuyang, dimana perjalanan beliau tiada mendapat halangan, karena ngelinggihin kayun, dan secepatnya beliau telah tiba di Kuntul Gading dengan melewati Gunung Tulukbyu yang langsung menuju Basukih pada hari “ kakawi siwa “ , bulan terang, tanggal ke 15, uku Julungwangi, sasih kawulu, wanita karnita, sirsa nitya, tahun saka, jadma siratmaya muka atau tahun saka 121. Setibanya beliau di Basukih, lalu beliau masuk kedalam Parhyangan terutama ke parhyangan Batara Putranjaya dan Batara Gnijaya. Selanjutnya beliau melakukan pemujaan kepada hyang Batara menghaturkan rapalan “ wedastawa “ serta pembasuh kaki, terdengar suara genta, lalu keluarlah Hyang Batara disertai dengan hujan kembang dan weda panjaya-jaya, lalu menghaturkan pangalpika serat gandaksara, tiada disebutkan tentang pahalanya, karena sangat rahasia.
Setelah itu beliau lalu datang ke gunung Lempuyang yang menghadap Batara Kamimitan. Setibanya di Lempuyang lalu beliau melakukan yoga samadi, menghaturkan wedastawa dan membasuh kaki. Membungbung tinggi asep pasepan beliau disertai dengan gemuruhya suara genta, lalu keluarlah Paduka Batar dibarengi dengan hujan kembang, bukan main anugrah sabda Hyang Batara kerena sangat rahasia. Entah telah beberapa lamanya beliau berada di daerah kahyangan Basukih dan di Lempuyang. Lalu beliau pamitan kepada Hyang Batara kembali ke  Jawadwipa dan tiada disebutkan selama perjalanan dan telah tiba di Tampurhyang disana beliau beristirahat. Setibanya disana, Mpu Kamareka bersama istrinya dengan cepat-cepatnya menyembah serta menghaturkan air pembasuh kaki kepada Dang Guru juga menghaturkan di Parhyangan, bulan main lengkap suguhan yang dihaturkan oleh Mpu Kamareka kepada Dang Guru, karena memang demikian kabajikan seorang murid yang ditekankan oleh Sang Ara Sinuhun, sehingga bukan main senang hati beliau, sehingga menyusup kedalam tubuh. Ada sabdanyan Dang Adiguru antara lain “ Anakku Mpu Kamareka, kini aku akan meninggalkan dirimu, kembali ke Jawadwipa, aku telah yakin terhadap pikiranmu, namun janganlah anakku melupakan segala nasehatku dahulu, didalam memegang “ Sanghyang Ongkara Dyatmika “. 
Dikemudian nanti jika ada para keturunanmu, beritahukanah mereka tentang terjadinya Balikrama, kini anakku telah perpewujudan ksatria dan brahmana, namun  hanya tiga keturunan mulai saat ini. Setelah itu turun derajat menjadin orang kebanyakan, karena sangat banyak para keturunan yang berkelompok tempat tinggalnya meluas di pulau Bali beritahukan juga mereka agar jangan melepaskan apa yang menjadi kebajikannya yang berasal dari Bujangga Bali Aga dan itu yang merupakan kutukannku mudah-mudahan menjadi wangsa rendah menjadi manusia yang disebut “tani cingkreng “ sampai pada waktu kematiannya, diada wajar diupacarai oleh seorang Brahmana terutama tak boleh dibakar harus ditanam. Seseorang seperti itu bukan keturunanmu. Dan jika telah melupakan kebajikan, maka ia disebut “ wangsa wong tani “. Namun setelah 3 keturunan, demikianlah jangan dilupakan. Dan jika telah 3 keturunan ada lagi keturunanmu, yang merupakan keturunan pasek kayu selem, setiap yang pandai sewajarnya duduk sebagai Bujangga, namun hanya 3 keturunan, setelah turun kedudukannya dari Bujangga lalu menjadi seorang dukun.
Dikemudian hari nanti jika ada keturunanmu bermaksud membakar mayatnya yang asalnya dari orang ning dibolehkan, namun jika belum ada Brahmana di Bali yang berasal dari saudara-saudaraku, maka Mpu Gnijaya akan memberikan rapalan mantra atau dari saudara-saudaraku yang lainnya yang kini anakku wajar atau boleh menyucikan mayat orang-orang Bali Aga secara keseluruhannya, demikianlah jangan dilupakan karena akan menimbulkan bahaya, akan membuat kemurkaan. Ada yang lain pesanku, sastra itu bukan aksara, bentuk tanpa berbentuk bukalah telingamu dan dengarkanlah dan bukalah kedua matamu. Mpu Kamareka lalu bersikap merendahkan diri yang kembali mendapat pertanyaan dari Dang Guru “ Anakku Kamareka, apakah telah jelas olehmu “. Mpu Kamareka berdatag sembah “ Jungjunganku Sang Abra Sinuhun, telah dapat dipahami oleh murid paduka “. Adalagi aksara luhur yakni sastra yang terdapat dalam badan, sastra itu yang harus diperhatikan, jas tas mat, wastu, 3, tan pariwastu, sidhirastu, tatastu wastu “. Sangat mulia dan maha sakti, antara lain tempatnya menunggal berbentuk angkasa langit inilah bentuknya : 50, 5, 1 titik. Jangan anakku melupakan dan menyebarkan serta salah melaksanakannya karena sangat dieahasiakan Sanghyang Sastra itu. Kini aku meninggalkan anakku, karena telah habis Sanghyang Aji telah berada di dalam badanmu “. Mpu Kamareka segera menyembah serta mengusap kakinya Dang Guru disertai dengan menghaturkan bakti. Bukan main senangnya beliau karena telah mendapat anugrah.
Diceritakan kembali Sang Catur Pandita diantaranya Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana dan Mpu Kuturan pada saat menghadapa Batara Putrajaya di Basukih, ada pesan beliau “ Engkau putraku para Brahmana, dengarkanlah pesanku kini, kaian harus melakukan yoga demi kebajikan seorang Brahmanaresi, mengapa yang membuat seperti itu, dikemudian hari nanti jika ada para keturunanmu agar mengetahui dengan yang menyebabkan berbhakti kepadaku di tempat ini, terutama kalian. Adapun engkau Mpu Gnijaya agar melakukan yoga di Gunung Lempuyang serta menghadap kepada Batara Kamimitanmu “. Engkau Mpu Semeru, engkau melakukan yoga di tempat ini dekat denganku. Dan engkau Mpu Gana, engkau berparhyangan di dasar buwana. Engkau Mpu Kuturan, engkau berparhyangan di Silayukti. Adapun Mpu Pradah agar tetap berada di pulau Jawa, beliau itu yang wajar “ mangajawamangabali “. Demikian sabda Hyang Batara yang berkedudukan di gunung Agung yang dijunjung oleh para pendetasegala pesan Hyang Batara itu. Demikianlah riwayat sang catur pandita yang memuat kesungsung kahyngan beliau masing-masing oleh para keturunan beliau.
Mpu Kamareka yang memberikan pengarahan kepada putranya yakni Ki Kayu Jayamaireng “ Anakku Kayu Ireng, dengarkanlah kata ayahanda, dikemudian hari nanti jik ada keturunanmu, beritahukanlah juga apa yang menjadi kebajikannya serta berguru kepada pada keturunannya Batara Mpu Gnijaya yang disebut sanak pitu dimana engkau masih saudara misan dan memindon. Dahulu ada sabda Batara Abra Sinuhun kepada Ayahanda tiada dibolehkan saling juang dan saling sembah, `namun engkau terhadap para keturunanmu, dibolehkan saling sembah terutama saling juang karena engkau adalah muird beliau dan janganlah menentang. Jika sesame keturunanmu, dibolehkan saling menyembah “ saling alap “. Demikianlah keharusannya hidup sebagai manusia, lagipula jika datang hari kematianmu janganlah dibakar mayatmu. Lalu apa yang menyebabkan seperti itu, karena Hyang Batara tiada suka kecemaran, karena sangat dekat dengan parhyangan, pura Panarajon, pura Tegeh, Ulun Danu dan Batur agar jangan kelingku biu oleh asapnya, karena berasal dari orang Bali yang tiada boleh dibakar harus ditanam, namun wajar dilakukan upacaranyayang disebut “ mabya tanem “. Demikianlah jangan dilupakan dan melebihi apa yang telah dihentikan oleh Batara Abra Sinuhun.
Sekarang Mpu Kamareka telah lanjut usia, putra beliau Sang Jaya Kayu Ireng yang telah memperistrikan saudaranya. Ni Kayu Ireng yang baru masuk satu keturunan. Adapun beliau sang Jaya Kayu Ireng melakukan upakara maput gala seperti ayahandanya karena keturuna Bujangga Bali sesuai dengan pesan Batara dahulu katapak oleh ayahandanya, yang diganti namanya dan kini bernama Mpu Gnijaya Mahaireng. Kemudian beliau Mpu Kamareka menurunkan lagi tiga orang putra laki-laki yang rupawan, masing-masing bernama : Sang Made Celagi, Sang Nyoman Tarunyan, dan Sang Ketut Kayu Selem yang dikemudian hari ketiganya duduk sebagai Bujangga katapak oleh ayahandanya. Sesuai maputgala  Sang Kayu Celagi bergelar Mpu Kaywan. Yang bungsu bergelar Mpu Nyoman Tarunyan dan yang paling Ketut bergelar Mpu Badengan. Tiada disebutkan para istrinya, yang kesemuanya pada setia kepada si suami.
Adapun beliau Mpu Kaywan pergi meninggalkan Gwasong melakukan yoga di pura Narajon yang selanjutnya di Balingkang. Selain dari Mpu Nyoman Tarunyan, lalu mengalih tempat dan melakukan yoga dihadapan Gunung Telukbyu yang disebut Belong pada waktu itu disebut di sebelah Timurnya Desa Tarunyan itu yang membuat berganti panggilan dan bergelar Mpu Trunyan. Adapun beliau Mpu Gnijaya Mahaireng bersama dengan Mpu Badengan, masih tetap melakukan yoga  di Gwasong bersama dengan ayahandanya. Kemudian hari nanti Gwasong disebut Songan. Diceritakan tentang gapuranya keempat orang Bujangga itu, tentang para putranya Mpu Jaya Mahaireng yang tiga orang laki-laki yang tertua bernama Sang Aruhuru, adiknya bernama Sang Kayu Selem dan Sang Wreksa Ireng dan yang perempuan bernama Ni Kayu Nyelem. Adapun putranya Mpu Panarajon satu orang laki-laki dan empat orang perempuan namanya masing-masing yang laki-laki bernama Sang Pranarajon sama dengan nama ayahandanya. Putra beliau yang keempat orang perempuan masing-masing bernama : Ni Nguli, Ni Ayu Ireng, Ni Ayu Kinti, dan Ni Ayu Kaywan. Dan Putranya Mpu Trunyan satu orang laki-laki dan tiga orang perempuan, masing-masing bernama : yang laki-laki bernama Sang Trunyan sama dengan nama ayahandanya, ketiga orang putranya yang perempuan masing-masing bernama : Ni Ayu Dani, Ni Ayu Trunyan, dan Ni Ayu Taruni. Adapu para putranya Mpu Badengan dua orang laki-laki masing-masing bernama : Ki Kayu Celagi dan Ki Kayu Taruna. Sebanyak itulah para putranya yang disebut catur sanak, yang baru dua turunan yang masih termasuk saudara misan. Entah berapa lama antaranya, semua telah dewasa lalu saling alap-kealap dengan saudara misan.
Beliau Sang Taruhulu lalu memperistrikan adiknya yang bernama Ni Ayu Kayu Ireng yakni putra Mpu Pranarajon. Adapun yang bernama Wreksa Ireng memperistrikan dua orang saudara misannya dimadu dengan saudaranya yang bernama Ni Ayu Nguli dan Ni Ayu Kinti putra Mpu Panarajon. Yang bernama Sang Kayu Selem memperistrikan yang bernama Ni Ayu Tarunyan putra dari Mpu Tarunyan. Dan putranya Mpu Kaywan yang berkedudukan di Panarajon yang bernama Sang Pranarajon lalu memperistrikan Ni Ayu Taruni putranya Mpu Tarunyan. Beliau yang bernama Sang Tarunyan putranya Mpu Tarunyan memperistrikan putranya Mpu Jaya Ireng yang bernama Ni Ayu Kayu Nyelem. Dan putranya Mpu Badengan yang bernama Ki Kayu Celagi memperistrikan Ni Ayu Dani putranya Mpu Tarunyan. Beliau yang bernama Sang Taruna memperistrikan Ni Ayu Kaywan putranya Mpu Pranarajon. Demikianlah keadaan yang saling juang kejuang antara saudara misan yang tiada lagi disebutkan tentang pasangan suami-istri maisng-masing beliau itu, karena memiliki satu tujuan serta kemesrannya. Entah telah berapa lama setelah melakukan upacara perkawinan yang semua pada banyak mempunyai keturunan.
Kini disebutkan yang merupakan cudamani yakni beliau Mpu Kamareka telah banyak mempunyai keturunan dan beliau semakin tua, telah bersiap-siap dalam hati. Pada hari yang baik semua putra-putranya dikumpulkan beliau bermaksud memberikan wejangan menjelang kembali kea lam sepi dan inilah ucapan beliau “ Anakku dan para cucuku kesemuanya, dengarkanlah kata-kataku, karena wajahku segera meninggalkan kalian kembali kea lam sepi, karena telah cukup umur ayahanda di dunia ini. Pada datangnya hari bulan purnama sasih kartika dan setelah selesai upacaranya, kalian kesemuanya agar mendirikan kahyangan untuk mendudukkan Sang Hyang Tripurusa, terutamanya Sanghyang Suci Nirmala. Dan untukku, buatkanlah bebaturan. Adapun kalian jika telah usai mendirikan Parhyangan dan Bebaturan, inilah penjelasannya  Sang Hyang Dwipala dan stananya Batara Hyang suci yang bergelar Sanghyang Taya. Yang disebut Sanghyang Tripurusa adalah Batara Brahma, Batara Wisnu dan Batara Iswara. Dan tentang stananya ibu pertiwi pada saat bertemu dengan Sanghyang Akasa, itulah yang dinamakan paibon. Akan tetapi aku yang lebih dahulu dibuatkan bebaturan dimana hal itu disebut memuja roh. Demikianlah jangan dilupakan  Lagipula jika telah selesai kalian mengupacarakan Kahyangan, jangan sampai dilupakan melakukan upacara yadnya beserta semua bentuk upacaranya serta sungsung bersama para keturunanmu sampai kemudian hari nanti terus-menerus hari yang akan datang, maka kalian akan mendapatkan keselamatan.
Katakanlah kepada para keturunanmu walau dimanapun mereka berada atau di beberapa penjuru desa yang jauh dan yang dekat, agar pada datang menghaturkan wali pada hari bulan mati sasih Kedasa, jangan tiada menepati waktunya. Dan jika ada para keturunanmu yang tiada melaksanakan apa yang telah menjadi kebajikannya, mereka itu bukan keturunanmu, mereka disebut “ ngutang sasana “. Mudah-mudahan mereka mendapatkan kutukan dariku, agar banyak pekerjaan kekurangan pangan, kemanapun mereka pergi tiada mendapat keselamatan tumbuh-tumbuh terpenggal, demikianlah jangan dilupakan oleh kalian. Ada lagi yang harus kalian ketahui, dikemudian hari nanti jika ada pohon kayu yang tumbuh di dalam Kahyangan yang hitam warna pohonnya, itu merupakan tanda dariku yang telah berperujudan sekala-niskala yang telah berkedudukan disana, berperujudan Sanghyang Jagatkarana kalau telah ada pohon kayu hitam yang tumbuh dalam pura tersebut dinamakan Pura Kayu Selem, demikianlah jangan dilupakan. Seperti di Gwasong, jika ada pohon beringin tumbuh, itu meruapakan tanda-tandaku bahwa di tempat itu menyikan dahulu, dari tempat itu wajahmu mendapatkan ke sidian yang sempurna untuk para keturunanku keseluruhannya, mudah-mudahan kalian tiada kekurangan pangan dan selalu menemukan kesejahteraan serta kekuasaan yang luas “ dinto dinto, wastu, 3, paripurna ya “. Inilah tata cara untuk menghaturkan widi wedana antara lain : suci asoroh serba hitam, itik hitam jambul mulus disertai dengan guru piduka, dipersembahkan kepada Batara Wisnu disertai dengan pemujaannya. Jangan dilupakan apa yang menjadi nasehatku.
Adapun kepulangan ayahanda ke dunia sepi dari sana ayah memberikan wejangan lagi tentang “ aksararastawa “ cara-cara mencapai pelepasan dan aji kemoksan. Siapapun yang pandai wajar berkedudukan sebagai pendeta. Setiap orang yang dipandang pandai, wajar didudukan sebagai penghulu dan wajar kalian menyembahnya. Demikianlah cara untuk melaksanakan dharma jangan dilupakan. Beberapa hari kemudian setelah tiba hari bulan Purnama sasih kartika pada saat itu Mpu Kamareka “aprayogajana “ untuk kembali ke alam sepi. Beliau telah engundang orang-orang Bali Aga yang telah siap melakukan upacara “ widi wedana “ serta persiapan pelaksanaan “ saprayogajana “. Tiada disebutkan jumlah mereka yang datang bermaksud menonton Mpu Kamareka terutama para putra dan para murid beliau keseluruhan. Dan ada yang lain para Mpu yang diundang yakni para putranya Mpu Gnijaya. Semua para sanak pitu diantaranya : Mpu Ketek, Mpu Kadanda, Mpu Wirajnyana, Mpu Wiradharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Banyak jika disebutkan tingkat kebesaran upacaranya tanapa kekurangan suguhan kepada para tamu yang sangat nikmat dan mulia seta tiada kekurangan minuman, tida terhitung banyaknya para tamu. Terdengar suara gamelan yang sealku manggala beliau Mpu Jaya Ireng beserta dengan Mpu Panarajon, Mpu Trunyan dan Mpu Badengan bertugas menyapa para tamu dan mengatur jalannya upacara serta suguhan. Sedangkan ayahandanya yakni Mpu Kamareka jarang beliau menyapa tamu. Benar-benar tak ada kesulitan.
Dan kini telah dauh lima yang disebut dauh sunia yang pada hari Rabu Umanis, Byantara, Maulu, Wurukung, Guru Mandala, Menga, pada hari-hari tersebut Mpu Kamareka membersihkan diri kemudian berbusana serba putih. Selanjutnya beliau pergi ke pasramannya di Gwasong. Semua para tamu, terutamanya beliau tujuh pendeta dituntunoleh para putranya degan seluruh perlenkapan untuk melaksanakan upacara widi wedana seperti : dupa kemenyan, satanggi, tila, gandapati semua telah tersedia di tempat memuja dibarengi dengan suara genta yang jangih. Selanjtnya Mpu Kmareka berucap kepada para Mpu keseluruhannya “ mohon dimaafkan oh para Rsi kesemuanya, berpahala pemikiran Paduka Mahadwija kesemuanya, menyaksikan upacara hamba ini, ttuluskanlah kasih sayang paduka kepada hamba. Kini hamba berpamitan kepada Hyang Suksma. Ada permintaan hamba kepada paduka Hyang Mahapandita kesemuanya yang merupakan santapan rohani agar benar-benar paduka Hyang suka terhadap diri hamba diantaranya menganugrahkan rapalan weda paraga, keluhurannya Sang Hyang Sucinirnala. Seperti itulah permohonan hamba kepada Jungjunganki “. Dengan serempak para Mpu menjawab terutama para putra beliau keseluruhannya “ singgih adikku sang Mpu, jika demikian mohon dimaafkan kami semua tiada menolak dan siap mengikuti apa yang menjadi tujuan adikku “.
Setelah itu lalu beliau memberikan wejangan para putranya dan kepada para muridnya “ Om Om anakku kesemuanya, ada lagi nasehatku di kemudian nanti jika kalian telah mempunyai keturunan beritahukan juga tentang mengupacarakan mayat. Di kemudian nanti jika tidak ada yang berkedudukan sebagai Bujangga, kemudian jika ada para keturunannya atau para putranya Sang Sapta Pandita pandai sebagai Bujangga, maka seharusnya para keturunanmu nuhur beliau untuk menyucikan mayat dan harus dihormati oleh para keturunanmu. Lalu apa yang menyebabkan seperti itu, karena beliau adalah asal mulanya aku ini dimasa dahulu dari Batara Abra Sinuhun Mpu Mahameru. Demikianlah jangan dilupakan pesanku. Kini jika kalian tiada menurutinya, wastu, 3, sidhir astu. Mudah-mudahan derajatmu paling dibawah, sangat bodoh, tiada mendapatkan sesuatu, banyak pekerjaan kurang pangan. Ada yang lain lagi jika tak ada Bujangga di Bali lalu pada saat kalian mengupacarakan mayat seharusnya di pura memohon tirta pangentas dengan memuja Batara Jagatnata, terutama kepada Sanghyang Tripurusa. Namun aku yang lebih dulu dipuja di Parhyanganku di tempatku beryoga didepannya Gwasong. Aku akan datang dengan berdiri tegak datang dari alam sepi. Aku selaku jalan meohon tirta pangentas, pabersihan kepada Paduka Batara Sanghyang Tripurusa. Setelah beliau berkenaan menganugrahkan tirta, kembali beliau dipuja/acep, aku disertai dengan puja astawa, disaat itu aku mengiringkan Hyang Batara menganugrahkan tirta panglumbang.
Adapun cara untuk memohon kepada Hyang Batara tiada lain harus dengan tiga buah tempat yakni : sangku tembaga, bahem slake dan batil besi. Itulah tempatnya Sanghyang Tirta disertai dengan tiga buah periuk anyar. Itulah tirta pabersihan. Inlah bentuk rerajahan pada sangku tembaga ANG, pasa sangku besi UNG dan pada sangku perak MANG. Rapalan mantra untuk sangku tembaga “ Ong, nam,mam, Brahma swaha “. Mantra untuk sangku perak “ Ong, mam, Iswara ya namah “. Dan mantra untuk sangku besi “ Ong, pam, Wisnu ya namah swaha “. Inilah pemujaan yang terlebih dahulu dilaksanakan, persiapan untuk kamoksan yang disebut astiti praline. Sesudah memberikan wejangan tentang pelaksanaan weda paraga. Demikianlah kata beliau kepada para putra dan para murid beliau keseluruhannya. Setelah tersimpan didalam hati mereka, maka pada saat seperti itu putra dan putrid cuu beliau lalu menghaturkan bakti kepada beliau yang selaku “ Kawitan “. Setelah itu Mpu Kamareka naik ketempat melakukan yoga ngregepang Sanghyang Kemoksan dengan mempersiapkan Sanghyang Dasaksara yang terdapat pada buwana alit. Setelah lesu Sanghyang Pramana yang kemudian “moksah “ Mpu Kamareka tenpa mayat kembali ke alam sepi. Lalu para keturunan beliau menghaturkan sembah kepada beliau yang berhasil mencapai kamoksan membuat termangu-mangu yang ditinggalkan kangen kepada beliau yang telah moksah karena msih tetap tergantung dimata. Kini beliau-beliau itu kembali ketempat tinggalnya masing-masing.    
Taru hulu yang bersuami dengan Ki Kayu Ireng telah menurunkan dua orang putra perempuan yang masing-masing bernama Ni Ayu Kaywan dan Ni Ayu Poh Gading. Adapun beliau Sang Tarunyan telah berkedudukan sebagai Bujangga bergelar Mpu Kayu Ireng dan memperistrikan Ni Kayu Selem. Kemudiab menurunkan lima orang putra, seorang perempuan dan empat orang laki-laki. Yang sulung bernama Ni Trunyan, keempat orang adik-adiknya masing-masing bernama Sang Badeng, Sang Nyelem, Sang Ketut Celagi Ireng dan Sang Roreksa Ireng juga telah berkedudukan Bujangga bergelar Mpu Kayu Reka meniru nama beliau yang telah mencapai kamoksan. Kemudian beliau memperistrikan Ni Kinti, yang kemudian menurunkan lima orang putra, dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Yang tertua Sang Madriakah, yang made bernama Sang Sadrakah, yang  ketiga bernama Ni Sadriya, keempat bernama Ni Kayurek dan yang kelima bernama Ni Kayu Nyelem. Adapun anak Sang Kayu Ireng menurunkan tiga orang putra, dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Yang laki-laki bernama I Togog Ireng, yang perempuan masing-masing bernama Ni Cemeng dan Ni Ireng. I Togog Ireng kemudian memperistrikan Ni Taruni dan juga telah mapudgala bergelar Mpu Kayu Sweta.
Ada lagi anaknya Ni Taruni yang lahir dari ibunya Ni Nyelem sebanyak empat orang. Yang tertua bernama Sang Tuwed Ireng. Adik-adiknya yang perempuan masing-masing bernama Ni Kangga, Ni Tarunyan, Ni Pleg. Beliau Ki Tuwed Ireng juga telah berkedudukan Bujangga bergelar Mpu Kamareka, sama namanya dengan beliau yang telah moksah. Adapun anak-anak Sang Tarunyan yang sebanyak lima orang, laki-laki satu dan empat orang perempuan. Yang laki-laki bernama Sang Trunyan. Yang perempuan masing-masing bernama Ni Trunyan, Ni Runyi, Ni Rinyon. Sang Trunyan tiada duduk sebagai Bujangga karena ia penjudi yang sering bepergian. Berselang beberapa lama kemudian disebutkan beliau yang berkedudukan di Songan yakni Mpu Gnijaya Ireng telah melakukan pertemuan dengan para keluarga dan para putra beliau kesemuanya serta kompyangnya. Tiada lain yang diperundingkan adalah tentang pesan beliau yang telah mencapai alam sepi/moksah agar memahami tentang pelaksanaan upacara pitra yadnya.
Mpu Ragarunting diminta memutru Mpu Ketek lalu melakukan yoga tasik wedana. Beliau Mpu Widharma merapalkan yayur weda, beliau Mpu Jaya Mahaireng beliau mengret weda dan beliau Mpu Panarajon beliau menangani astawa wedana. Beliau Mpu De Kaywan ikut serta memutru. Bukan main ramai dan kesempurnaan pelaksanaan upacara tersebut lengkap dengan berbagai sesajen. Tiada ketinggalan pula pelaksanaan upacara widi wedana, riuh terdengar suara genta yang tak ubahnya suara kumbang yang mengisap sarinya kembang. Setelah selesai upacara yadnya untk leluhur didalam upacara pitra yadnya pada saat itu Mpu Jaya Mahaireng dengan diiringkan oleh para putra, cucu, dan oleh para murid beliau yang telah moksah antara lain : sanggar agung yang merupakan stananya Hyang Suci yang bergelar Sanghyang Taya. Dan gedong tripurusa bertingkat tiga yang merupakan stananya Sanghyang Siwa, Paramasiwa, Sadasiwa dimana beliau bertiga itu yang disebut Sanghyang Tigayadnya. Ada lagi gedung bertingkat 2, yang merupakan stananya Hyang Brahma dan Hyang Wisnu. Ad alai kemulan rong tiga, stananya beliau Sang Tripurusa : Brahma, Wisnu dan Iswara, pada saat beliau mengadakan pertemuan.
Ada lagi bebaturan rong 2 stananya Sanghyang Akasa bertemu dengan Sanghyang Pertiwi dan itulah yang dianggap si ayah dan si ibu, itu yang mengeluarkan amreta siwamba. Dan yang ditengah-tengah disebut pasamuwan agung. Ditambah lagi membuat stananya leluhur diluar tempat bebaturan rong 2, laki-laki dan perempuan tempat itu disebut tempat menghadap para Hyang, menurut pesan beliau yang telah mencapai kamoksan. Ditambah lagi bebaturan rong 3 yang merupakan stananya Sanghyang Trisakti lengkap dengan sedahan taksu mengapit pintu. Dan setelah selesai membangun pura kemudian ada tumbuh kayu/pohon hitam yang merupakan tanda seperti pesan beliau yang telah moksah. Itulah yang menyebabkan pura itu diberi nama PURA KAYU SELEM sampai sekarang. Ceritanya kayu tersebut dinamakan celagi ireng dan setelah selesai pembangunan pura, lalu dilakukan upacara masasapuh dan mlaspas, disertai pula ngenteg linggih. Setelah itu kembali beliau Mpu Jaya Ireng bersama keluarga dan para putra keseluruhannya kembali membanngun kahyangan yang diberi nama Pura Jati yang merupakan tanda benar-benar terjadi bangunannya beliau yang kasungsung oleh seluruh orang Bali.

2.2.    Sejarah Sanggah Pamerajan (Pasek Kayu Selem)
Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamerajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamerajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Mengenai Sangggah Pamerajan ini tidak dijelaskan secara rinci, karena tidak ada yang tahu pasti bagaimana awal  mulanya kejadian yang terjadi dimasa dahulu hingga terbentuknya Sanggah Pamerajan (Kayu Selem) hingga seperti sekarang ini. Informasi yang penulis dapat bahwa Sanggah Pamerajan ini termasuk kedalam Siwa Buana. Dan mengenai mantra-mantra yang digunakan setiap persembahyangan pada tiap-tiap pelinggih tidaklah berbeda sebab mantra yang digunakan adalah “Japa Wadana“ (mantra secara keseluruhan). Dimana Sanggah Pamerajan ini selesai dibuat pada tanggal 25 Januari 1987 dan melakukan upacara melaspas dan ngenteg linggih pada tanggal 27 April 1987. Pemangku yang kajumput pertama kali pada tahun 1978 hingga sekarang adalah : Wayan Turun. Jumlah pamedek di Sanggah Pamerajan (kayu selem) ini adalah 19 KK. 

2.3.    Tata Upacara Membangun Sanggah Pemerajan
A)    Melaspas asal kata dari “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak perlu; di sini dimaksudkan bahwa bahan-bahan yang digunakan sebagai palinggih: batu, pasir, semen, besi, kayu sudah ditingkatkan statusnya, tidak lagi bernama demikian, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan nama palinggih. Sebelum upacara mlaspas, untuk bangunan baru, diadakan upacara:
1.    Memangguh: asal kata: “pangguh” = menemukan tanah baru yang sesuai.
2.    Memirak: asal kata: “pirak” = nebus-menebus di niskala kepada Sedahan Karang/ Carik pemilik tanah pekarangan semula.
3.    Nyikut karang: mengukur panjang/ lebar karang yang akan digunakan sebagai lokasi pelinggih dengan berpedoman pada asta bumi dan asta kosala-kosali.
4.    Macaru asal kata dari “car” = harmonis, yaitu menciptakan keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit sesuai dengan konsep Tri-Hita-Karana (tiga penyebab kesempurnaan)
5.    Ngararuwak asal kata “wak” = membuka, yaitu membongkar tanah untuk pondasi
6.    Mendem dasar dengan batu tiga warna (merah merajah “Ang”=Brahma, hitam merajah “Ung”= Wisnu, putih merajah “Mang”=Siwa)
7.    Mamakuh asal kata “bakuh” = kuat; mengokohkan pondamen, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap dll.
8.    Ngurip asal kata “urip” = hidup; menghidupkan bangunan dengan mohon restu Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Brahma (tetoreh warna merah – di atas), Siwa (tetoreh warna putih – di tengah), dan Wisnu (tetoreh warna hitam – di bawah).
9.    Mendem pedagingan; asal kata “daging” = isi = jiwa bagi palinggih, yaitu Pancadatu, bersamaan dengan memasang Orti, asal kata orta = berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan menjadi berita seketurunan, dan memasang Palakerti, asal kata Pala = pahala, Kerti = perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan berikutnya. Selanjutnya memasang Bagia, asal kata bagia = landuh = makmur, mengandung simbol mohon kemakmuran kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan takir berisi: kalpika, bija, jinah sesari dengan maksud agar dikaruniai umur panjang (kalpika), kemakmuran (bija) dan hasil kerja yang baik (sesari).
10.    Memasang ulap-ulap; asal kata ulap = panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bethara agar berstana di palinggih yang sudah disiapkan.
B)    Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah sanggah pamerajan, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan - linggih berarti menobatkan/ menstanakan. Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di sanggah pamerajan yang bersangkutan

2.4.    Odalan atau Pujawali
Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Batara Sanggah Pamerajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali. Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Batara disiratkan tirta pabersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal). Odalan atau pujawali di sanggah pamerajan di laksanakan pada Purnama Kedasa. Namun persembahyangan yang kami lakukan bukan hanya saat purnama kedasa saja, melainkan setiap rahinan seperti : Purnama, Tilem, Budha Kliwon, Budha Wage, Galungan, Kuningan, Nyepi, Manis Anggarkasih, Tumpek Pengatag, Pagerwesi, Tumpek Landep, Sugihan jawa,
Susunan upacara Ngaturang Piodalan adalah sbb.:
1.    Mapiuning di Sanggah Pamerajan bahwa akan ngaturang Piodalan
2.    Macaru, bersamaan dengan Newasain/ Nanceb tetaring
3.    Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi
4.    Nedunang pratima-pratima Ida Batara
5.    Mamendak Ida Batara
6.    Makalahias
7.    Ngewangsuh dan masucian
8.    Ngadegang Ida Batara
9.    Ngaturang Piodalan, pemuspaan
10.    Nyineb Ida Batara

2.5.    Fungsi Sanggah Pamerajan
Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Sanggah Pamerajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu:
1.    Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.
2.    Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh/gambelan.
3.    Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat.
4.    Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran dan panitia piodalan.
5.    Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.
2.6.    Nama-nama pelinggih yang ada di Sanggah Pamerajan.
      1.PELINGGIH SURYA                      2.  PELINGGIH MERU
1.PELINGGIH SURYA
Pelinggih surya, sebuah bangunan untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khususnya ritual yadnya. Dalam lontar Siwagama, gelar Surya Raditya adalah gelar dari Dewa Surya atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian beliau. Hyang Surya diberikan anugrah juga sebagai Upa Saksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusnah segala kegelapan. Dalam uraian ini tampak jelas adanya pengaruh sekte Sora (Surya) dalam pendirian pelinggih Surya. Wastra yang digunakan pada pelinggih Surya ini adalah wastra yang berwarna putih kuning. Pada pelinggih surya menggunakan wastra putih kuning karena menonjolkan unsur kesucian. Selain itu ada juga tedung putih-kuning yang dipasang disebelah kanan-kiri bagian depan pelinggih dan hanya dipasang pada hari-hari tertentu saja (Galungan, Kuningan, Nyepi dan pada saat Odalan atau Pujawali) dan lamak.
Tedung adalah salah satu sarana upacara yang mengacu pada kerangka dasar agama hindu, yaitu tatwa, etika, dan upacara. Tedung adalah perlambangan etika bahwa saat ida bhatara tedun maka harus ditedungi, hal ini juga bermakna bahwa ida bhatara / Ida Sang Hyang Widhi adalah tedung jagat yang akan memberikan kesejukan kepada seluruh umat. Begitu pula halnya dengan manusia, hendaknyalah bisa menjadi pengayom yang bisa memberi keteduhan kepada sesama, kepada mahluk lain dan kepada lingkungan. Ada juga lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Banten yang digunakan pada pelinggih Surya ini yaitu : canang raka, ajengan, daksina dan canang burat wangi. Dan dibagian depan pelinggih ini terdapat dua buah patung laki-perempuan (lanang-istri), dimana setiap rahinan selalu dihaturkan segehan nasi kepel putih, yang berisi lauk kacang-komak,saur dan telur. Mengenai mantra yang digunakan pada pelinggih Surya ini adalah “Japa Wadana” (mantra secara keseluruhan), artinya tidak adanya mantra secara khusus antara satu pelinggih dengan pelinggih lainnya.
2.PELINGGIH MERU
Meru yang ada di pamerajan ini adalah Meru tumpang 11. Alasan kuat mengapa didirikannya Meru tumpang 11 karena dianggap sebagai pemargi dari Siwa Buana. Dalam Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta (Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana). Dalam lontar yang sama juga dinyatakan sebagai berikut: Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan suci (pelinggih) terutama meru dan candi juga simbol dari pemutaran huruf suci wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ”ruping bhuwana”. Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut. Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana.
 Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sebagai berikut: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Tuhan yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap lapisan alam. Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya, manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat. Bangunan Meru terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1)    Bagian pertama adalah pondamen atau bebaturan dibuat dari bahan  batu,semen, paras, batu-bata, dengan ornamen yang disebut karang gajah, karang paksi, dan karang bun.
2)    Bagian kedua, di atas bebaturan ada gedong yang biasanya dibuat dari bahan kayu . Kayu yang digunakan dalam pembuatan gedong ini adalah berasal dari kayu Intaran dan kayu Majegau.
3)    Bagian ketiga atap atau kereb yang bertumpang-tumpang, dibuat dari bahan kayu dan ijuk.
Di dalam gedong disimpan simbol-simbol Ida Bhatara berupa patung dari bahan kayu. Kayu yang digunakan dalam pembuatan patung ini adalah kayu intaran dan majegau. Dimana bentuk dari patung tersebut adalah berbentuk patung  “laki-laki (lanang) yang sudah tua membawa tongkat “. Dan nama Dewa yang melinggih di pelinggih meru ini adalah “Sanghyang Aji Catur Guru”. Wastra yang digunakan berwarna putih-kuning, yang bermakna sebagai unsur kesucian. Ada juga lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Mengenai banten yang dihaturkan pada saat persembahyangan yaitu : canang raka, ajengan, daksina, dan canang burat wangi.  Mantra yang digunakan pada pelinggih Meru ini adalah mantra “Japa Wadana”.
 
3.PLGH DEWA AYU TAMAN                    4. PLGH RAMBUT SEDANA
3.PELINGGIH DEWA AYU TAMAN
Wastra yang digunakan adalah wastra putih-kuning, yang mempunyai makna sebagai unsur kesucian. Ada juga lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Banten yang dihaturkan pada rahinan-rahinan biasa saat persembahyangan yaitu : canang raka, ajengan, daksina dan canang burat wangi. Sedangkan pada rahinan buda wage kelawu menggunakan banten : soroan lima, pengulapan, soroan pitu dan ditambah dengan banten-banten pada rahinan-rahinan biasa tadi. Tapi banten yang digunakan khusus pada saat odalan, yakni pada rahinan purnama kedasa adalah : soroan pitu, pengulapan-pengambean, canang raka, daksina, ajengan dan canang burat wangi. Didepan pelinggih ini terdapat dua patung perempuan (istri) sebagai lambang bidadari-bidadari yang menjaga taman tersebut. Dan setiap rahinan dihaturkan nasi cacahan kepel putih, dengan lauknya kacang-komak, saur dan telur. Pelinggih ini dibuat dari batu bata diisi ukiran-ukiran dari pasir temblele, dan kayunya terbuat dari kayu jati.
4.PELINGGIH RAMBUT SEDANA
Pelinggih ini meruapakan stana Dewi Sri dengan Bhiseka Si Sedana atau Limascatu yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Wastra yang digunakan adalah wastra putih-kuning yang bermakna sebagai unsur kesucian. Ada juga lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Banten yang digunakan pada rahinan-rahinan biasa yaitu : canang raka, ajengan, daksina, dan canang burat wangi. Hanya saja ketika odalan purnama kedasa dan rahinan buda wage kelawu ditambah dengan banten suci alit dan banten-banten yang tadi dijelaskan pada saat rahinan-rahinan biasa. Didalam pelinggih ini terdapat pratima dari kayu jati yang berbentuk patung perempuan (istri) sebagai lambang Dewi Kemakmuran. Begitu juga dengan pelinggihnya dibuat dari batu bata diisi dengan ukiran-ukiran dari pasir temblele dan pelinggih diatasnya dibuat dari kayu jati. Mantra yang digunakan adalah “Japa Wadana”. Pelinggih Rambut Sedana termasuk kedalam Sekte Waisnawa, karena pelinggih ini adalah stananya Dewi Sri yang merupakan istrinya Dewa Wisnu.

  5.PELINGGIH HYANG IBU         6. PELINGGIH PIYASAN
5. PELINGGIH HYANG IBU
Wastra yang digunakan pada pelinggih Hyang Ibu ini adalah putih-kuning, sebagai lambang unsur kesucian. Ada juga lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh.  Banten yang digunakan pada saat rahinan-rahinan biasa maupun pada saat odalan sama yaiti, banten ajengan berisi tumpeng putih 2, dengan lauknya kacang-komak, saur, telur rebus, ikan teri dan danging ayam. Pelinggih Hyang Ibu ini terbuat dari batu paras lahar sebagai lambang akasa dan pertiwi.
6.PELINGGIH PIYASAN ATAU BALAI PARUMAN
Pelinggih ini merupakan stananya bhatara dan bhatari ketika melakukan persembahyangan dan pada saat odalan. Wastra yang digunakan pada pelinggih piyasan ini adalah putih-kuning, symbol unsur kesucian. Selain wastra juga terdapat lamak yang berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Pelinggih piyasan ini terbuaat dari bahan kayu majagau. Banten yang dipakai pada rahinan-rahinan biasa selain hari raya pujawali adalah : canang raka, daksina, ajengan, canang burat wangi dan sekar agung. Alasan mengapa menggunakan banten sekar agung, Karena di piyasan ini dianggap sebagai tempat pesamuan para Dewa. Sedangkan pada saat hari pujawali (Purnama Kedasa) banten yang digunakan masih tetap sama seperti rahinan-rahinan biasa, hanya saja ditambah dengan rayunan atau nasi penyaturan yang berbentuk gunung lengkap dengan lauk-pauknya (sate, lawar, jeruk, gorengan ayam dan jukut ayam ) dimana kesemua ini akan dimakan oleh semua para pemedek yang ikut sembahyang pada saat itu. Bagi para pemedek, Rayunan Penyaturan ini dianggap dapat membawa berkah dimasa hidupnya. 
   7.PLGH KAWITAN                    8.PLGH BAPA SANGHYANG PUTUS
7.PELINGGIH KAWITAN
Pada  pelinggih kawitan ini terdapat dua buah pratima laki-perempuan (lanang-istri) yang terbuat dari kayu majagau. Bangunan pelinggih ini juga terbuat dari kayu majagau dan batu bata lengkap dengan ukiran-ukiran dari pasir temblele. Wastra yang digunakan adalah putih-kuning sebagai simbol unsur kesucian dan lamak yang berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Banten yang digunakan pada rahinan-rahinan biasa sama seperti pelinggih-pelinggih lainnya, yaitu canang daksina arapetan dan canang burat wangi. Sedangkan pada saat hari raya pujawali (Purnama Kedasa) menggunakan canang daksina arapetan, canang pajegan, canang burat wangi, pras daksina, suci alit, rayunan dan nasi pangkonan (lanang-istri). Mantra yang digunakan adalah “Japa Wadana”.
8.PELINGGIH BAPA SANGHYANG PUTUS
Bangunan pelinggih ini terbuat dari kayu jati dan batu bata lengkap dengan ukir-ukirnya. Pada pelinggih ini wastra yang digunakan adalah putih-kuning yang bermakna sebagai unsur kesucian dan lamak yang berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Banten yang digunakan pada pelinggih ini adalah rayunan putih yang berbentuk gunung lengkap dengan lauk-pauknya (kacang-komak, saur, telur, ikan teri dan danging ayam), canang raka da canang burat wangi.
 
9.PLGH HYANG DEWA           10.PLGH HYANG PITARA-PITARI
9.PELINGGIH HYANG DEWA
Pelinggih ini terbuat dari kayu jati dan batu bata , lengkap dengan ukirannya. Wastra yang digunakan adalah putih-kuning yang bermakna sebagai unsur kesucian dan lamak yang berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh.Banten yang dihaturkan disini setiap rahinan-rahinan adalah ajuman putih lengkap dengan lauknya dan canang raka. Ketika pujawali (purnama kedasa) banten  yang dihaturkan pada pelinggih ini yaitu : tebasan pretista, ajuman putih lengkap dengan lauknya, canang raka dan canang burat wangi.
10.PELINGGIH PITARA-PITARI
 Bangunan pelinggih ini terbuat dari kayu jati dan batu bata lengkap dengan ukirannya. Wastra yang digunakan adalah putih-kuning yang bermakna sebagai unsur kesucian dan lamak yang berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh.Banten yang dihaturkan disini setiap rahinan-rahinan adalah ajuman putih lengkap dengan lauknya dan canang raka. Ketika pujawali (purnama kedasa) banten  yang dihaturkan pada pelinggih ini yaitu : tebasan pretista, ajuman putih lengkap dengan lauknya, canang raka dan canang burat wangi.
 
11.PLGH JERO PATIH PREKENCAK          12. BALE KULKUL
11. PELINGGIH JERO PATIH PREKENCAK
Pelinggih Jero Patih ini terletak dijeroan pemerajan. Dimana dibagian bawah pelinggih ini yaitu bagian kiri-kanan terdapat dua patung macan yang berwarna putih-hitam. Setiap persembahyangan dihaturkan nasi segehan yang berbentuk macan (putih-kuning) atau sering disebut dengan nasi linggihan. Sedengkan banten yang dihaturkan pada pelinggih ini adalah canang raka dan tipat gong. Wastra yang digunakan adalah saput poleng dan tedung poleng. Warna poleng ( putih, hitam) ini digunakan karena yang ditonjolkan adalah kesan kekeramatan. Tedung adalah salah satu sarana upacara yang mengacu pada kerangka dasar agama hindu, yaitu tatwa, etika, dan upacara. Tedung adalah perlambangan etika bahwa saat ida bhatara tedun maka harus ditedungi, hal ini juga bermahkan bahwa ida bhatara / Ida Sang Hyang Widhi adalah tedung jagat yang akan memberikan kesejukan kepada seluruh umat. Begitu pula halnya dengan manusia, hendaknyalah bisa menjadi pengayom yang bisa memberi keteduhan kepada sesama, kepada mahluk lain dan kepada lingkungan. Begitu pula dengan saput saka dan ider ider yang berfungsi sebagai hiasan pelinggih dalam kaitanya dengan etika menyambut datangnya ida bhatara. Lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh.
12.BALE KULKUL
Bangunan bale kulkul ini terletak di sebelah barat laut. Fungsi dari bangunan kulkul ini adalah sebagai gentanya Hyang Niskala. Kulkul ini tidak setiap rahianan detepak (dipukul), hanya pada saat pujawali saja. Kayu yang digunakan untuk membuat kulkul ini bukan kayu sembarangan, tetapi dari kayu majagau dan kayu intaran. Pembuatannya juga dari tukang kulkul yang sudah ahli. Banten yang digunakan pada saat melaspas kulkul adalah : pemelaspas, pemakuhan, pengurip-urip, pengulapan-pengambean, soroan alit, soroan lima, daksina pelinggihan, tebasan pretista, durmanggala, pengiring, pajegan, peras gede, piuning kesurya dan pertiwi, suci sari, penunasan tirta, penguleman, teenan, dan nasi akedengan. Sedangkan banteng yang digunakan pada saat ngulap ambe yaitu : soroan pitu, pretista, dan piuning. Dan banten yang digunakan setiap rahinan maupun pujawali adalah : canang raka daksina arapetan.  Wastra yang digunakan adalah putih-kuning yang bermakna sebagai simbol unsur kesucian. Di setiap sudut bale kulkul ini terdapat patung anoman dan setiap rahinan dihaturkan nasi segehan kepel putih lengkap dengan lauknya. 
 
13.PELINGGIH JERO PATIH         14. CANDI KURUNG
13.PELINGGIH JERO PATIH
Pelinggih Jero Patih ini ada di jabaan sanggah pamerajan. Fungsi pelinggih ini hampir sama dengan pelinggih lebuh, hanya saja pada pelinggih ini terdapat dua patung asu lanang-istri (hitam-putih). Dimana pada pelinggih ini banten yang digunakan adalah canang raka tipat gong dan nasi segehan hitam putih berbentuk asu untuk patung yang ada dibawahnya. Wastra yang digunakan berwarna putih-kuning dan tedung putih-kuning juga, ini melambangkan unsur kesucian.
14.CANDI KURUNG
Candi Kurung (Kori Agung), yakni kedua ujung candi bertemu membentuk kerucut. Hal itu menyimbolkan sebuah puncak gunung. Dimaknai sebagai pintu utama untuk mencapai keharmonisan hidup. Pembangunan candi kurung pada Sanggah Pamerajan ini, filosofinya adalah setiap umat (pemedek)  yang memasuki kawasan sanggah pamerajan hendaknya mereka bisa bersembahyang menyatukan pikiran mereka hanya ke hadapan Tuhan makanya mereka melewati candi kurung. Selain itu, pada candi kurung ini terdapat dua patung naga taksaka lanang-istri yang berada dibelah kanan-kiri dari candi tersebut. Naga Taksaka lambang udara perwujudan Dewa Iswara. Naga Taksaka adalah naga bersayap yang dijadikan simbol lapisan terakhir dari bumi yang juga membungkus kulit bumi tetapi selalu bergerak yaitu udara yang mengambil tempat di angkasa atau melambangkan / atmosfer bumi. Naga Taksaka dengan sayapnya, tatkala jaman bahari di nusa bali, rah 1 tanggek 1 caka 11 dalam babad pasek diceritakan Beliaulah yang ikut menyelamatkan Bali dengan menerbangkan sebagian gunung mahameru untuk diturunkan di Bali. Sehingga dalam upacara yadnya, selain Naga Taksaka sebagai simbol penguasa alam atas yang biasanya digambarkan dalam umbul-umbul, Naga Taksaka juga disimbolkan dalam sebuah daksina sebagai simbolis penghubung antara Jiwatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya pralina manusia itu sendiri. Wastra dan umbul-umbul yang digunakan adalah putih-kuning sebagai lambang unsur kesucian. Sedangkan banten yang digunakan pada rong-rong yang ada disebelah kanan-kiri candi adalah : canang raka saja.

15. PELINGGIH LEBUH
15.PELINGGIH LEBUH
Pada pelinggih ini yang dipuja adalah Dewa Ganesha dan sering juga dianggap sebagai Dewa Pengadang-adang terhadap kekuatan-kekuatan jelek yang bersifat negatif. Wastra yang digunakan pada pelinggih ini adalah putih-kuning sebagai lambang unsur kesucian. Banten yang dihaturkan disini adalah : canang raka daksina arapetan.

2.7.     Konsep Penyatuan Siva Siddhanta di Sanggah Pamerajan
Melihat dari sejarah dan nama-nama pelinggih-pelinggih yang ada di sanggah pamerajan ini, terdapat beberapa manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berstana di masing-masing pelinggih. Manifestasi-Nya berupa Dewa-Dewi, yang nantinya dari sinilah muncul beberapa sekte yang ada di sanggah pamerajan ini. Beberapa sekte yang ada yaitu : sekte sora (surya), sekte waisnawa dan sekte ganapati. Nama pelinggih-pelinggih yang termasuk kedalam sekte-sekte ini adalah:
1)    Pelinggih Surya termasuk ke dalam sekte Sora (Surya), karena memuja Dewa Surya.
2)    Pelinggih Rambut Sedana termasuk kedalam sekte Waisnawa, karena memuja Dewi Sri yang merupakan saktinya atau istrinya DewaWisnu.
3)    Pelinggih Lebuh termasuk kedalam Sekte Ganapati, karena memuja Dewa Ganesa yang dianggap sebagai dewa pelindung.
Jadi dari beberapa sekte-sekte yang ada pada sanggah pamerajan ini, dimana nantinya kesemua sekte ini akan luluh menjadi sekte Siva Siddhanta, yang dipersatukan oleh Mpu Kuturan. Sekte Siva Siddhanta ini merupakan sekte yang memuja Siva sebagai Dewa yang utama dan posisinya paling tinggi diantara Dewa-dewa lainnya. Akan tetapi Dewa Siva itu juga merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan yang Tunggal adanya.




III PENUTUP
Demikianlah pengertian, nama pelinggih dan sarana-prasarana yang digunakan pada tiap-tiap pelinggih yang ada di sanggah pamerajan,  yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini. Merajan adalah sebuah kesatuan sekte yang ada. Dengan mengetahui sejarah pembangunan sanggah pamerajan tersebut, paling tidak dapat dijadikan sebuah pedoman bagi kita dimasa kini, bahwa leluhur kita sekitar seribu tahun yang lalu telah mempu menyelesaikan masalah keberagaman sekte yang tumbuh di masyarakat dengan sangat bijaksana, sehingga persatuan dan kesatuan masyarakat masih tetap terjaga. Dengan memahami hakekat dari merajan serta nama-nama pelinggihnya, semestinya kita sebagai yang baru tumbuh seribu tahun kemudian, mestinya tak perlu berpikir tentang aliran ini dan itu. Karena semuanya telah disatukan oleh para leluhur kita dalam sebuah konsep yang disebut dengan   sanggah pamerajan.
Dalam jaman seperti sekarang ini semestinya sanggah pamerajan kembali difungsikan sebagai pemersatu umat atau pemersatu keluarga, selain sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya dan sebagai tempat pemujaan leluhur. Jadi mengapa kita harus memalingkan diri kesegala arah mencari-cari sesuatu yang baru lagi, padahal semuanya sudah dikemas atau disatukan oleh leluhur kita di Bali yang disebut sanggah pamerajan. Langkah yang paling bijak untuk saat ini adalah berpaling kembali ke sanggah pamerajan masing-masing untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan leluhur. Karena para leluhur kita memang sudah jauh lebih bijaksana dibandingkan dengan generasi sekarang ini. Jadi tugas kita adalah melanjutkan dan mempertahankan apa yang sudah digariskan oleh leluhur melalui bhisama dan ajaran-ajarannya.



LAMPIRAN-LAMPIRAN
Foto sanggah pamerajan dan pamedek disana.
 
 
Foto pemangku disanggah pamerajan (kayu selem)







Foto penulis
 









Denah Sanggah Pamerajan (Kayu Selem)









UUUUU

UUUUUUU




Keterangan :
1.    Pelinggih Surya
2.    Pelinggih Meru
3.    Pelinggih Dewa Ayu Taman
4.    Pelinggih  Rambut Sedana
5.    Pelinggih Hyang Ibu
6.    Pelinggih Piyasan
7.    Pelinggih Jero Patih Prekencak (dijeroan)
8.    Pelinggih Bale Kulkul
9.    Pelingggih Kawitan
10.    Pelinggih Bapa Sanghyang Putus
11.    Pelinggih Hyang Dewa
12.    Pelinggih Pitara-pitari
13.    Candi Kurung
14.    Pelinggih Jero Patih (dijabaan)
15.    Pelinggih Lebuh













DAFTAR PUSTAKA
UPTD, Gedong Kirtya. 2008. Babad Pasek Kayu Selem. Singaraja.
Soebandi, Ketut. 2008. Riwayat Merajan di Bali. Denpasar : CV Kayumas Agung.
Anom, Ida Bagus. 2009. Tentang Membangun Mrajan. Denpasar : CV Kayumas Agung.
Pasek Gunawan, I Ketut. 2012. Sivasiddhanta II. Singaraja : IHDN
Winanti, Ni Putu. 2009. Pura Keluarga dan Pratima. Denpasar : Pustaka Bali Post.
Sukrawti, Ni Wayan dkk. 2007. Kaedah Beryajnya. Surabaya : Paramita
Wawancara : Wayan Turun (pemangku di sanggah pemerajan)
www.google.com





1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino | Gordon Ramsay Food Market
    Gordon Ramsay 스포츠 사이트 Food Market is your local mouth watering destination in the heart 비트코인갤러리 of 룰렛사이트 the 라이브스코어사이트 Great Smoky Mountains of Western North Carolina. From burgers 피망포커현금화 and stir fries,

    BalasHapus