TUGAS UTS SAIVA SIDDHANTA I
DOSEN PENGAMPU : I KETUT PASEK GUNAWAN S.Pd. H
IHDN DENPASAR
OLEH:
NAMA : LUH APRIANTINI
NIM : 10.1.1.1.1.3831
KELAS : PAH /A
SEMESTER : IV
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2011/2012
PERTANYAAN :
1. Jelaskan proses penyebaran saiva siddhanta dari India sampai ke Bali?
2. Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte yang ada dalam saiva siddhanta!
3. Jelaskan bentuk kristalisasi saiva siddhanta di Bali!
4. Apakah anda beragama Hindu? Jelaskan!
5. Bagaimana anda menyikapi terhadap adanya sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep saiva siddhanta?
JAWAB :
1. Proses penyebaran saiva siddhanta dari India sampai ke Bali yaitu :
Berawal dari datangnya bangsa arya Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran. Bangsa Dravida telah mengenal ajaran siva dengan cirri-ciri seperti bentuk Deva Siva sehingga diidentikkan dengan sivaisme yang tinggal di daerah Tambil Nadu. Bangsa Arya diidentikkan dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya. Ajaran Sivasiddhanta berkembang dari agama Siva yang sudah ada sejak zaman Pra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida. Dengan dukungan dan perkembangan dari bangsa Arya sehingga tetap berkembang menjadi ajaran sivaisme seperti saat ini. Agama Siva berasal dari kaki gunung Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum Bangsa Arya ada perkembangan agama siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan berbentuk siva, dan bentuk dewa lainnya dan juga pengikutnya. Sebuah Lingga Yoni konsep penciptaan. Sehinnga konsep itu diadopsi oleh bangsa Arya kedalam Veda, Upanisad, Purana dan bentuk kepercayaan Siva-agama Tambil baik arsitektur dan sebagainya.
Di Indonesia mazab Sivasiddhanta datang pada abab ke-4 M di Kutai dibawa oleh Rsi Agastya dari Benares India. Terdapat 7 Yupa dengan huruf Sansekerta. Jawa Barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut koebon kopi. Jawa Tengah terdapat kerajaan Kalingga tahun 618-906 M rajanya Ratu Sima terdapat prasasti berbahasa sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abab 7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut prasasti Canggal. Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi Kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruhan rajanya Dewasima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja Tri Murti. Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya Kameswara. Kerajaan Singasari tahun 1222-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan banyak candi. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikramawardhana masa jayanya Sivasiddhanta. Kerajaan Pajajaran rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabu Ratu Dewata.
Di Bali pemujaan Siva adalah dengan cara yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara. Pengikut Siva di India dicirikan dengan 3 garis mendatar didahinya dengan Bhasma an Wibhuti. Perayaan hari Siva yaitu pada Sivalatri, Saraswati, Purnama, Tilem dan manggala warga yaitu hari suci untuk menasehati diri. Cara pemujaan dengan cara mencakupkan kedua telapak tangan ditaruh di hulu hati atau diubun-ubun atau juga dengan sujud dilingga atau penataran mandir dan terlebih dahulu membunyikan lonceng di mandir.
Sumber ajaran Siva diBali terdapat 4 kelompok yaitu kelompok : weda, tattwa, ethika dan upacara. Kelompok weda : weda parikrama, weda sanggraha, surya sevana dan siva pakarana. Kelompok tattwa : Bhawana kosa, bhawana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong besi, purwa bhumi kemulan, tantu pagelaran, usana dewa, ganapati tattwa, tattwa janan, dan jnana siddhanata. Kelompok ethika : siwa sasana, rsi sasana, wrtii sasana, putra sasana dan slokantara. Kelompok upacara : upacara dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, manusa yadnya, bhuta yadnya. Bhuwana kosa terdiri dari 11 bab dan 487 sloka sumbernya berbahasa sansekerta terdapat proses penciptaan (utpeti) dari Siva, Purusa, Awyakta, Bhudi, Ahangkara, Panca tan Mantra,Manah, Akasa, Bayu, Agni, Apah dan Pertiwi. Proses peleburan oleh Siva dari Panca Maha Butha, Panca Tan Tantra, Angkara, Bhudi, Awyakta, dan Purusa. Wrhaspatitattwa terdiri atas 74 sloka terdapata dialog antara bhatara siwa dan wrhaspati mengeai cetana unsure kesadaran dan acetana unsure ketidaksadaran. Ganapatitatwa isinya tentang dialog dewa siwa dengan dewa ganapati yang terdapat caturdasaksara yaitu sang, bang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang, ang, ung, mang ong. Penciptaan panca wedata.
Astangga yoga dalam ajaran siva siddhanta yaitu : Yama artinya pengendalian tahap pertama, bagiannya ahimsa tidak menyakiti, satya artinya setia, asteya artinya tidak mencuri, brahmacari pantang berhubungan seks dan aparigraha artinya tidak loba. Nyama artinya pengendalian diri tahap lanjutan yaitu sauca artinya suci lahir bhatin, santosa artinya kepuasan, tapa pengekangan diri, swadhyaya artinya belajar dan iswarapranidana artinya bhakti kepada Tuhan. Asana yaitu sikap duduk yaitu ada padmasana, wajrasana, swastikasana, sukhasana, silasana dan lain-lain. Pranayama artinya pengendalian prana : puraka menarik nafas yang bersih, kumbaka artinya menahan nafas dan recaka pengeluaran nafas. Pratyhara artinya penarikan pikiran dari objeknya. Darana yaitu pemusatan pikiran pada sasaran yang dituju. Dhyana yaitu melakukan meditasi atau usaha pemusatan pikiran pada satu objek yang absolute. Samadhi yaitu adanya penyatuan esensi jiwa denan atman.
Dalam ajaan siva siddhanta terdapat 5 upacara korban yang mesti dilakukan yaitu brahma yadnya kepada Brahman, dewa yadnya kepada para dewa, pitra yadnya kepada pitara, manusa yadnya dan bhuta yadnya. Di India ada 10 samskara yaitu Garbhadana (menyucikan kegiatan penciptaan), pumsavana (mantra kandungan 3 bulan), simantonnayana (mantra kandungan 7 bulan), jatakarma (upacara kelahiran anak), namakarana (upacara pemberian nama), annaprasarana (pemberian makan pertama berumur 6 bulan), cudakarana (upacara cukur rambut), upanayana (upacara belajar kepada guru), samavartana (upacara mengakhiri belajar), vivana (upacara perkawinan). Siva siddhanta menerima 5 subtan eksternal yaitu : 1) Tuhan disebut Pati (penguasa), 2) Jiwa-jiwa disebut Pasu (binatang), 3) Maya (penyebab material yang berevolusi dari dirinya), 4) Karma (perbuatan baik dan buruk dan hasil-hasilnya), dan 5) Anawa-mala (belenggu fundamental).
Proses penciptaan alam semesta berdasarkan maya terdiri dari maya murni dan tidak murni. Maya murni (suddha-maya) yaitu saktinya yang langsung oleh siva yaitu keinginan (iccha), kemauan (kriya), dan pengetahuan (jnana). Tidak murni (asudha maya) yaitu evolusi jiwa-jiwa siva tidak terlibat langsung maka adanya waktu (kalla), keperluan (niyati), dan partikel (raga) yang disebut purusa. Prakerti membentuk bagian evolusi yang membuat pengalaman (bhojayitr-kanda). Penyatuan purusa prakerti muncullah citta dan budhi (intelek), dari prakerti buddhi muncul ahamkara (individualisasi) terdapat 3 yaitu : sattva, rajas dan tamas. Setelah itu muncul tan mantra yaitu esensi haus seperti suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Dan barulah muncul panca maha butha.
Pati adalah Tuhan yang dibuat brahma,Wisnu dan Rudra. Yang memiliki sifat independen, murni, berpengetahuan, sendiri, maha tahu, bebas dari mala, murah hati, maha ada dan kebahagian. Sifat utamanya adalah : 1) Tirodhana (pengaburan), 2) Srsti (pencipta), 3) Sthiti (pemelihara), 4) Samkara (pengancuran), 5) Anugraha (pemberi anugrah). Pasu yang berarti jiwa yang dapat mengalami kebodohan (awidya), belenggu-belenggu (pasa), Anava-maya (ketidak makmuran sejak lahir, karmaphala belenggu akibat perbuatan). Pasa disebut juga seutas tali yang berpengaruh terhadap jiwa yang sama dengan dasar alam semesta terdiri dari mala (ketidak makmuran), anawa atau egoism, dan karma atau aktivitas. Pasa membuat jiwa percaya bahwa yang putih itu susu dan yang mengkilap itu emas dan lainnya.
Cara memperoleh pengetahuan dengan Tri Pramana dan pramana lainnya seperti : Praktyasa pramana (observasi langsung), Anumana pramana (inferensi), Agama (testimoni atau otoritas), Abhawa (non persepsi), Arthapatti (presumsi), Upamana (koparasi), Parisesa (enferensi melalui eliminasi), Sambhawa (probalitas), Aitihyam (tradisi), dan swadhaya-lingga (infrensi ilmiah)
Ajaran Siwa yang berkembang di Bali adalah siva siddhanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran weda, Upanisad,dharmasastra,darsana (terutama samkya yoga), purana dan tantra. Ajaran dari sumber-sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindi di Bali.
Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur-unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, rerainan upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang utuh dan bulat. Dengan demikian agama hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga,rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
2. Sekte-sekte yang ada dalam saiva siddhanta yaitu :
1. SEKTE SIWA SIDHANTA
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
2. SEKTE PASUPATA
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
3. SEKTE WAISNAWA
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
4. SEKTE BODHA DAN SOGATHA
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
5. SEKTE BRAHMANA
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
6. SEKTE RSI
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
7. SEKTE SORA ATAU PENYEMBAH SURYA
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
8. SEKTE GONAPATYA
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
9. SEKTE BHAIRAWA
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
10. SEKTE RAMANANDI
Para pengikut Ramananda adalah Ramanandi. Mereka terkenal dikalangan orang-orang Hindustan. Mereka merupakan sebuah cabang dari sekte Ramanuja yang mempersembahkan pemujaan kepada Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman. Ramananda adalah seorang murid dari Ramanuja. Ia berkembang di Waranasi kira-kira pada awal abab ke-14. Para pengikutnya banyak terdapat di lembah sungai Gangga. Karya faforit mereka adalah “ BHAKTI-MALAT”. Tanda ke-sekte-an merreka adalah seperti orang-orang pengikut Ramanuja. Di antara pertapa Ramanandi mereka disebut Wairagi.
11. SEKTE WALLABHACARIN ATAU RUDRA SAMPRADAYIN
Para pengikut Wallabhacarin membentuk sebuah sekte yang sangat penting di Bombay, Gujarat dan India Tengah. Penganjurnya lahir dihutan Camparanya pada tahun 1479, yang dianggap sebagai satu inkarnasi dari Krsna. Para pengikut Wallabhacarin memuja Krsna sebagai Bala-Gopala. Patung pemujaan mereka menggambarkan Krsna pada masa kanak-kanaknya hingga berumur 12 tahun. Gosain atau para guru merupakan orang laki-laki yang selalu tinggal di rumah. Delapan upacara sehari-hari kepada Tuhan dikuil-kuil Mangala, Sringara Gwala,Raja Bhoga, Utthapana, Bhoga, Sandhya dan Sayana, yang semua ini menyatakan semua kemuliaan Tuhan.
Tanda pada kening mereka terdiri dari 2 garis tegak lurus berwarna merah yang pertemuaannya di pangkal hidung membentuk setengah bulatan dan memiliki sebuah titik bundar merah di antara dua garis tersebut. Kalung dan tasbihnya terbuat dari dahan pohon Tulasi (Basil Suci). Otoritas yang tersebar dari sekte ini adalah Srimad Bhagawatam seperti yang dijelaskan dalam Subhodini yang merupakan komentar dari Wallabhacarya. Anggota-anggota dari sekte ini hendaknya mengunjungi sebuah tempat suci Sri Nathdwara, paling sedikit sekali dalam hidupnya.
12. SEKTE CAITANYA
Sekte ini terutama tersebar di Bengala dan Orissa. Penganjurnya adalah Caitanya Mahaprabhu yang lahir pada tahun 1485, yang dianggap sebagai inkarnasi dari Tuhan Krsna. Beliau memasuki tahapan Sanyasa pada umur 24 tahun dan pergi ke Jagannantha disitu beliau mengajarkan ajaran-ajaran Waisnawa.
Para pengikut Caitanya memuja Sri Krsna sebagai Mahluk Tertinggi. Semua golongan masyarakat diperkenankan masuk ke dalam sekte ini. Para pemujanya secara terus menerus mengulang-ulang nama dari Krsna. Kitab Caitanya Caritamrta oleh Krsna Dasa merupakan karya besar yang jumlahnya berjilid-jilid yang mengandung cerita-cerita pendek dari Caitanya dan pengikutnya yang terpenting serta keterangan tentang ajaran dari sekte ini. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Bengali.
13. SEKTE NIMBARKA
Penganjur dari sekte ini adalah Nimbarka atau Nimbaditya, yang aslinya bernama Bhaskara Acarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Dewa Matahari. Para pengikutnya memuja Krsna dan Radha secara bersama-sama. Kitab utama mereka adalah Srimad Bhagawatat Purana.
Para pengikutnya memiliki tanda dua garis kuning tegak lurus dari bahan Gopicandana yang ditarik dari pangkal rambut kepermukaan masing-masing alis dan disana bertemu membentuk sebuah lengkungan yang menyatakan tapak kaki dari Tuhan Wisnu. Para pengikut Nimbarka atau Nimawat terpancar dari seluruh kalangan India atas. Mereka banyak terdapat di Mathura dan juga sangat banyak ditemui di antara sekte waisnawa di Bengala.
14. SEKTE MADHWA
Para penganut ajaran Madhwa Waisnawa, yang dikenal sebagai Brahma Sampradayin. Penganjur dari sekte ini adalah Madhwacarya yang juga disebut Ananda Tirtha dan Purna Prajna. Beliau lahir pada tahun1200. Beliau merupakan seorang penentang terbesar dari system filsafat Adwita dan Sankaracarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Wayu atau Dewa Angin. Beliau membangun dan mensucikan patung pemujaan Krsna di Udupi.
Para guru dari sekte Madhwa adalah para Brahmana dari Sannyasin. Para pengikutnya mencap dada dan bahunya dengan symbol Wisnu dengan memakai besi panas. Tanda pengenalnya terdiri dari 2 garis tegak lurus yang dibuat dari Gopicandana yang bertemu pada pangkal hidung. Mereka membuat garis lurus hitam dengan arang dari dupa yang dipersembahnkan kepada Krsna yang diakhiri dalam suatu bulatan yang dibuat dari sejenis kunyit.
Para pengikut Madhwa dibagi dua golongan yang disebut Wyasakuta dan Dasakuta. Mereka banyak dijumpai di Karnataka. Kejujuran, belajar kitab suci murah hati, kebaikan hati,kepercayaan dan kemerdekaan dari rasa cemburu membentuk hukum-hukum moral dari para pengikut Madhwa. Mereka memberikan nama-nama Tuhan kepada anak-anak mereka dan mencap badan mereka dengan simbol-simbol-Nya. Mereka melaksanakan kebajikan dalam pikiran,perkataan dan perbuatan.
15. SEKTE RADHA WALLABHI
Para pengikut Radha Wallabhi memuja Krsna sebagai Radha Wallbha, yaitu penguasa kasih sayang Radha. Penganjur dari sekte ini adalah Hariwansa. Sewa Sakhi Wani memberikan uraian terperinci tentang pengertian sekte ini, terlebih lagi tentang tradisi dan tata tertib mereka.
16. SEKTE JAINA
Penganjur pertama dari sekte ini adalah Parswanatha. Penyebar aktif yang pertama adalah Mahawira. Sekte Jaina dijumpai dalam jumlah yang besar terutama di pesisir barat. Mereka dibagi menjadi 2 sekte utama, yaitu : Swetambara (yang berpakaian warna putih) dan Digambara (yang telanjang). Sekte Jaina tidak mengakui ke Tuhan-an sumber weda, mereka tidak percaya pada suatu Dewata Tertinggi. Mereka menghormati orang-orang suci atau orang-orang yang saleh digelari Tirthankara yang berdiam dan dipersemayaman surgawi dan yang dengan disiplin lama meningkatkan dirinya sendiri ke kesempurnaan Tuhan. Gambaran atau patung dari satu atau lebih para Tirthankara ini ditempatkan pada setiap kuil pengikut Jaina.
Sekte Jaina menetapkan secara ketat hidup vegetarian dan terikat dengan kehidupan yang suci. Mereka melaksanakan Ahimsa. Para pengikut Jaina yang ketea menapis air sebelum minum, menyapu tanah dengan sebuah sikat sebelum melewati atau mendudukinya, tak pernah makan atau minum pada malam hari dan kadang mengenakan kain tipis menutup mulut untuk menjaga resiko menelan serangga kecil-kecil. Ada 2 pengikut Jaina yaitu : Srawaka yang melibatkan dirinya dalam kegiatan duniawi para Yati atau biksu yang menjalani kehidupan pertapa.
17. SEKTE SIKH
Orang-orang Sikh sesungguhnya adalah orang-orang Hindu. Kapatuhan terhadap guru memberikan keterlepasan dari kelahira berikutnya, merupakan keyakinan orang-orang Sikh.
18. SEKTE RAMA SANEHI
Penganjur golongan ini adalah Ramcaran yang lahir pada tahun 1718 di sebuah desa dekat Jaipur di Rajasthan. Para peminta-minta Rama Sanehi ada 2 golongan yaitu : Widehi yang telanjang dan Mohini yang mengenakan 2 potong pakaian dari kain kapas yang dicelup merah dalam tanah liat kecoklatan. Biara mereka ada di Sahapur Rajasthan. Sekte Rama Sanehi memiliki para pengikut yang terbesar di Mewar dan Alwar, namun mereka juga dijumpai di Bombay, Gujarat, Surat, Puna Ahmedabad, Hyderabad, dan Waranasi.
19. SEKTE KABIR PANTHI
Kabir Panthi adalah pengikut dari orang suci Kabir, yang banyak terdapat di seluruh propinsi India Atas dan Tengah. Cabang-cabangnya ada 12 buah, antara lain Kabir Caura yang berada di Waranasi yang merupakan subuah biara besar dari Kabir Panthi. Dharamdas adalah murid Kabir yang utama. Para pengikutnya diharapkan untuk memiliki kepatuhan yang mutlak terhadap para guru dalam pemikiran, perkataan, dan perbuatan. Mereka harus melaksanakan kejujuran, kedermawanan, tidak menyakiti dan pengasingan diri.
20. SEKTE DADU PANTHI
Dadu Panthi membentuk satu aliran Waisnawa. Dadu, penganjur sekte ini merupakan seorang murid salah satu guru-guru Kabir Panthi. Para pengikutnya memuja Rama. Dadu adalah seorang pembersih kapas, yang lahir di Ahmedabad. Iaberkembang kira-kira tahun 1600. Dadu Panthi terdiri dari 3 golongan yaitu : wirakta yang berkepala gundul dan memiliki satu pasang pakaian dan satu kendi air, naga yang membawa senjata dan yang dianggap sebagai tentara dan wistar dhari yang melakukan pekerjaan sambilan dari kehidupan biasa. Tempat pemujaan utama mereka berada di Naraina dekat Sambhur dan Jaipur.
21. SEKTE PARINAMI
Sri Pirannath adalah penganjur sekte ini yang lahir pada tahun 1675 di Jamnagar, distri Rajkot, Kathiawar. Beliau adalah Diwan dari Raja Jam Jasa. Pengikutnya melaksanakan Ahimsa, Satya, Daya-tanpa kekerasan, kejujuran dan kasih saying. Mereka mempelajari kitab-kitab suci, Kul Jam Swarup atau Atma Bodha dalam bahasa Hindi yang mengandung ajaran-ajaran Sri Prannath yang terdiri dari 18.000 Caupais. Mereka memuja Bala-Krsna yaitu Krsna sebagai seorang pemuda kecil. Para pengikutnya kebanyakan dijumpau di Punjab, Gujarat, Assam Nepal, dan Bombay. Dua buah Mutt atau biaranya terdapat di Jamnagar dan di Pamna.
3. Bentuk kristalisasi saiva siddhanta di Bali adalah :
Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di Kalimantan Timur (pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mùlavarman dan di Jawa Barat oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari India Selatan. Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Matarama Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di Jawa Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkann kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Disamping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya.Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual. Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah Hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di samping dakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu (Hindu Dharma), unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat diamati.
4. Ya saya beragama Hindu. Sebab kita memeluk agama karena kelahiran dan karena pilihan. Kita memeluk agama Hindu karena kita lahir dari orang tua Hindu, sejak kecil kita diajak oleh orang tua kita mengikuti acara-acara agama, kita diajak sembahyang bersama pada hari-hari raya dan pada usia tertentu kita dibuatkan upacara-upacara agama atau karena kita kawin dengan seorang suami atau istri Hindu. Atau bahkan karena pilihan yang kita lakukan secara sadar. Selain itu agama Hindu juga mengajarkan jalan kepada kita untuk berhubungan dengan Yang Suci (Tuhan), untuk berhubungan dnegna diri kita sendiri (spiritualitas) dan untuk berhubngan dengan lingkungan, mahluk hidup dan alam di sekitar kita (etika atau moral). Agama Hindu juga mewajibkan kita untuk menghormati hidup, hidup kita sendiri dan hidup orang lain. Pada umumnya agama Hindu atau orang-orang Hindu karena sikapnya yang sangat toleran. Dan,agama Hindu juga percaya dengan adanya Hukum Karmaphala. Dimana nasib manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. Ada agama yang percaya bahwa manusia hanya hidup sekali, setelah mati, menunggu hari kiamat. Pada saat itu manusia dibangkitkan kembali untuk diadili. Agama Hindu percaya pada Reinkarnasi, dimana manusia lahir kembali,diberikan kesempatan untuk menyempurnakan dirinya.
5. Cara saya menyikapi terhadap adanya sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep saiva siddhanta adalah : Lemahnya pemahaman akan keberadaan agama Hindu yang benar, terjadi hampir di semua kalangan umat. Hal ini antara lain menyebabkan kehadiran Sampradaya menjadi masalah. Kalau saja benar cara memahaminya justru keberadaan sampradaya akan menjadikan umat Hindu memiliki banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran suci Veda. Dengan demikian tidak ada umat Hindu merasa tertekan kalau pilihan yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan tipe atau selera rohaninya. Kesalah pahaman seringkali dikarenakan adanya oknum pengikut sampradaya yang berbuat tidak sesuai dengan norma-norma lingkungannya. Demikian juga umat Hindu yang tradisional, karena kekurang pahaman, menganggap kehadiran sampradaya sebagai ancaman. Padahal umat Hindu tradisional itu pun tergolong sampradaya Siwa Sidhanta.
Muncul istilah sampradaya pertama kali ketika umat Hindu Indonesia khususnya dari Bali mulai mengadakan kontak dengan umat Hindu di India dan ketika kontak lebih intensif terjadi ada beberapa umat Hindu Indonesia yang mengikuti salah satu sampradaya yang berkembang di India. Di lain pihak, umat Hindu Indonesia, khususnya di Bali, sebagian khawatir kalau sampradaya ini berkembang dengan dalih akan mengganggu atau merusak tatanan agama Hindu yang sudah ajeg, sebagian yang lain menerima dengan antusias dengan alasan dinamika perkembangan agama Hindu tidak mandeg, mereka merasakan pencerahan sesuai dengan kebutuhan spiritual dewasa ini. Menurut Sivananda (2003:143), Hindu sangatlah universal, bebas, toleren dan luwes.
Hindu di dalam ajarannya memiliki bermacam-macam kelompok filsafat dari Wedanta seperti Waisnawisme, Saiwisme, Saktisme dan lain-lain, serta memiliki sejumlah kepercayaan dan aliran. Hindu lebih bersifat gabungan agama dari pada agama tunggal dengan keyakinan yang terbatas. Hindu adalah persahabatan dari keyakinan dan juga suatu gabungan filsafat yang memberikan hidangan guna perenungan bagi para pengikutnya. Para pengikut Sanata Dharma, Arya Samaj, Dewa Samaj, Jaina, Bauddha, Sikh dan Brahma Samaj semuanya adalah orang-orang Hindu, karena mereka berasal dari Hindusme dan menekankan pada satu atau beberapa aspeknya saja. Oleh karena itu Hindu sendiri merupakan gabungan atau percampuran dari berbagai aliran dan keyakinan (sampradaya) bukan merupakan suatu keyakinan tunggal saja.
Berdasarkan dasar ajaran agama Hindu Panca Sradha, kita mengenal ajaran Moksa yang mempunyai makna kembalinya roh individu kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan tersebut adalah Karma Marga, Bhakti Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga.
Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ‘va bhajamy aham
mama vartma ‘nuvartante
manushyah partha sarvasah
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.
Bhagawad Gita Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi :
yo-yo yam-yam tanum bhaktah
sraddhaya ‘rchitum achchhati
tasya-tasya ‘chalam sraddham
tam eva vidadhamy aham
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.
Catur Marga (empat jalan) yang harus dilaksanakan manusia dalam usahanya untuk mencapai tingkat kesadaran tertinggi yaitu kembali kepada Yang Maha Pencipta, merupakan satu kesatuan yang satu sama lainnya sangat berkaitan, sehingga keempat karma tersebut harus dipahami dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan Jnana (ilmu pengetahuan) tentang hukum ketuhanan yang ada dalam kitab suci sebagai dasar untuk meluruskan pelaksanaan marga-marga lainnya. Akan terdapat perbedaan yang kelihatannya kontradiktip dalam pelaksanaan sembahyang antara mereka yang masih dalam tahap menjalankan karma dan bhakti marga dengan mereka yang sudah dalam tahapan menjalankan raja marga. Sembahyang raga dan sembahyang rasa adalah bagi mereka yang masih dalam tingkatan karma dan bhakti marga. Sedangkan bagi mereka yang sudah dalam tahapan melaksanakan raja marga, cara sembahyangnya sudah pada tingkatan sembahyang cipta dan sukma. Mereka sudah bisa sembahyang dalam keadaan sedang bekerja, berjalan, duduk santai dengan pakaian yang sederhana, sambil ngobrol dan mereka cendrung terlihat aneh dimata kebanyakan orang.
Dan yang paling penting, perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan atau dipermasalahkan, karena hal ini sangat tergantung dari tingkat pemahaman (jnana) masing-masing orang. Akan tetapi satu kunci yang paling penting untuk dipahamidan dijalankankan, bahwa yang kita sembah adalah hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Absolut, tidak ada yang lain dan tidak melalui perantara siapapun baik itu dewa, bathara ataupun leluhur. Masing-masing individu bertanggung jawab mutlak kepada Tuhan atas karma yang dia laksasanakan di dunia, tidak ada orang lain yang bisa mewakili.
Adanya berbagai sampradaya-sampradaya tersebut adalah suatu keindahan dalam Agama Hindu.Swami Siwananda menyatakan:Hinduisme menampung segala tipe manusia dan memberikan hidangan spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan pertumbuhannya masing-masing. Hal ini merupakan keindahan dari Agama Hindu yang menarik hati ini itulah kemuliaan Hinduisme. Oleh karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hinduisme.
DOSEN PENGAMPU : I KETUT PASEK GUNAWAN S.Pd. H
IHDN DENPASAR
OLEH:
NAMA : LUH APRIANTINI
NIM : 10.1.1.1.1.3831
KELAS : PAH /A
SEMESTER : IV
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2011/2012
PERTANYAAN :
1. Jelaskan proses penyebaran saiva siddhanta dari India sampai ke Bali?
2. Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte yang ada dalam saiva siddhanta!
3. Jelaskan bentuk kristalisasi saiva siddhanta di Bali!
4. Apakah anda beragama Hindu? Jelaskan!
5. Bagaimana anda menyikapi terhadap adanya sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep saiva siddhanta?
JAWAB :
1. Proses penyebaran saiva siddhanta dari India sampai ke Bali yaitu :
Berawal dari datangnya bangsa arya Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran. Bangsa Dravida telah mengenal ajaran siva dengan cirri-ciri seperti bentuk Deva Siva sehingga diidentikkan dengan sivaisme yang tinggal di daerah Tambil Nadu. Bangsa Arya diidentikkan dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya. Ajaran Sivasiddhanta berkembang dari agama Siva yang sudah ada sejak zaman Pra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida. Dengan dukungan dan perkembangan dari bangsa Arya sehingga tetap berkembang menjadi ajaran sivaisme seperti saat ini. Agama Siva berasal dari kaki gunung Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum Bangsa Arya ada perkembangan agama siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan berbentuk siva, dan bentuk dewa lainnya dan juga pengikutnya. Sebuah Lingga Yoni konsep penciptaan. Sehinnga konsep itu diadopsi oleh bangsa Arya kedalam Veda, Upanisad, Purana dan bentuk kepercayaan Siva-agama Tambil baik arsitektur dan sebagainya.
Di Indonesia mazab Sivasiddhanta datang pada abab ke-4 M di Kutai dibawa oleh Rsi Agastya dari Benares India. Terdapat 7 Yupa dengan huruf Sansekerta. Jawa Barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut koebon kopi. Jawa Tengah terdapat kerajaan Kalingga tahun 618-906 M rajanya Ratu Sima terdapat prasasti berbahasa sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abab 7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut prasasti Canggal. Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi Kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruhan rajanya Dewasima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja Tri Murti. Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya Kameswara. Kerajaan Singasari tahun 1222-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan banyak candi. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikramawardhana masa jayanya Sivasiddhanta. Kerajaan Pajajaran rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabu Ratu Dewata.
Di Bali pemujaan Siva adalah dengan cara yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara. Pengikut Siva di India dicirikan dengan 3 garis mendatar didahinya dengan Bhasma an Wibhuti. Perayaan hari Siva yaitu pada Sivalatri, Saraswati, Purnama, Tilem dan manggala warga yaitu hari suci untuk menasehati diri. Cara pemujaan dengan cara mencakupkan kedua telapak tangan ditaruh di hulu hati atau diubun-ubun atau juga dengan sujud dilingga atau penataran mandir dan terlebih dahulu membunyikan lonceng di mandir.
Sumber ajaran Siva diBali terdapat 4 kelompok yaitu kelompok : weda, tattwa, ethika dan upacara. Kelompok weda : weda parikrama, weda sanggraha, surya sevana dan siva pakarana. Kelompok tattwa : Bhawana kosa, bhawana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong besi, purwa bhumi kemulan, tantu pagelaran, usana dewa, ganapati tattwa, tattwa janan, dan jnana siddhanata. Kelompok ethika : siwa sasana, rsi sasana, wrtii sasana, putra sasana dan slokantara. Kelompok upacara : upacara dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, manusa yadnya, bhuta yadnya. Bhuwana kosa terdiri dari 11 bab dan 487 sloka sumbernya berbahasa sansekerta terdapat proses penciptaan (utpeti) dari Siva, Purusa, Awyakta, Bhudi, Ahangkara, Panca tan Mantra,Manah, Akasa, Bayu, Agni, Apah dan Pertiwi. Proses peleburan oleh Siva dari Panca Maha Butha, Panca Tan Tantra, Angkara, Bhudi, Awyakta, dan Purusa. Wrhaspatitattwa terdiri atas 74 sloka terdapata dialog antara bhatara siwa dan wrhaspati mengeai cetana unsure kesadaran dan acetana unsure ketidaksadaran. Ganapatitatwa isinya tentang dialog dewa siwa dengan dewa ganapati yang terdapat caturdasaksara yaitu sang, bang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang, ang, ung, mang ong. Penciptaan panca wedata.
Astangga yoga dalam ajaran siva siddhanta yaitu : Yama artinya pengendalian tahap pertama, bagiannya ahimsa tidak menyakiti, satya artinya setia, asteya artinya tidak mencuri, brahmacari pantang berhubungan seks dan aparigraha artinya tidak loba. Nyama artinya pengendalian diri tahap lanjutan yaitu sauca artinya suci lahir bhatin, santosa artinya kepuasan, tapa pengekangan diri, swadhyaya artinya belajar dan iswarapranidana artinya bhakti kepada Tuhan. Asana yaitu sikap duduk yaitu ada padmasana, wajrasana, swastikasana, sukhasana, silasana dan lain-lain. Pranayama artinya pengendalian prana : puraka menarik nafas yang bersih, kumbaka artinya menahan nafas dan recaka pengeluaran nafas. Pratyhara artinya penarikan pikiran dari objeknya. Darana yaitu pemusatan pikiran pada sasaran yang dituju. Dhyana yaitu melakukan meditasi atau usaha pemusatan pikiran pada satu objek yang absolute. Samadhi yaitu adanya penyatuan esensi jiwa denan atman.
Dalam ajaan siva siddhanta terdapat 5 upacara korban yang mesti dilakukan yaitu brahma yadnya kepada Brahman, dewa yadnya kepada para dewa, pitra yadnya kepada pitara, manusa yadnya dan bhuta yadnya. Di India ada 10 samskara yaitu Garbhadana (menyucikan kegiatan penciptaan), pumsavana (mantra kandungan 3 bulan), simantonnayana (mantra kandungan 7 bulan), jatakarma (upacara kelahiran anak), namakarana (upacara pemberian nama), annaprasarana (pemberian makan pertama berumur 6 bulan), cudakarana (upacara cukur rambut), upanayana (upacara belajar kepada guru), samavartana (upacara mengakhiri belajar), vivana (upacara perkawinan). Siva siddhanta menerima 5 subtan eksternal yaitu : 1) Tuhan disebut Pati (penguasa), 2) Jiwa-jiwa disebut Pasu (binatang), 3) Maya (penyebab material yang berevolusi dari dirinya), 4) Karma (perbuatan baik dan buruk dan hasil-hasilnya), dan 5) Anawa-mala (belenggu fundamental).
Proses penciptaan alam semesta berdasarkan maya terdiri dari maya murni dan tidak murni. Maya murni (suddha-maya) yaitu saktinya yang langsung oleh siva yaitu keinginan (iccha), kemauan (kriya), dan pengetahuan (jnana). Tidak murni (asudha maya) yaitu evolusi jiwa-jiwa siva tidak terlibat langsung maka adanya waktu (kalla), keperluan (niyati), dan partikel (raga) yang disebut purusa. Prakerti membentuk bagian evolusi yang membuat pengalaman (bhojayitr-kanda). Penyatuan purusa prakerti muncullah citta dan budhi (intelek), dari prakerti buddhi muncul ahamkara (individualisasi) terdapat 3 yaitu : sattva, rajas dan tamas. Setelah itu muncul tan mantra yaitu esensi haus seperti suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Dan barulah muncul panca maha butha.
Pati adalah Tuhan yang dibuat brahma,Wisnu dan Rudra. Yang memiliki sifat independen, murni, berpengetahuan, sendiri, maha tahu, bebas dari mala, murah hati, maha ada dan kebahagian. Sifat utamanya adalah : 1) Tirodhana (pengaburan), 2) Srsti (pencipta), 3) Sthiti (pemelihara), 4) Samkara (pengancuran), 5) Anugraha (pemberi anugrah). Pasu yang berarti jiwa yang dapat mengalami kebodohan (awidya), belenggu-belenggu (pasa), Anava-maya (ketidak makmuran sejak lahir, karmaphala belenggu akibat perbuatan). Pasa disebut juga seutas tali yang berpengaruh terhadap jiwa yang sama dengan dasar alam semesta terdiri dari mala (ketidak makmuran), anawa atau egoism, dan karma atau aktivitas. Pasa membuat jiwa percaya bahwa yang putih itu susu dan yang mengkilap itu emas dan lainnya.
Cara memperoleh pengetahuan dengan Tri Pramana dan pramana lainnya seperti : Praktyasa pramana (observasi langsung), Anumana pramana (inferensi), Agama (testimoni atau otoritas), Abhawa (non persepsi), Arthapatti (presumsi), Upamana (koparasi), Parisesa (enferensi melalui eliminasi), Sambhawa (probalitas), Aitihyam (tradisi), dan swadhaya-lingga (infrensi ilmiah)
Ajaran Siwa yang berkembang di Bali adalah siva siddhanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran weda, Upanisad,dharmasastra,darsana (terutama samkya yoga), purana dan tantra. Ajaran dari sumber-sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindi di Bali.
Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur-unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, rerainan upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang utuh dan bulat. Dengan demikian agama hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga,rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
2. Sekte-sekte yang ada dalam saiva siddhanta yaitu :
1. SEKTE SIWA SIDHANTA
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
2. SEKTE PASUPATA
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
3. SEKTE WAISNAWA
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
4. SEKTE BODHA DAN SOGATHA
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
5. SEKTE BRAHMANA
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
6. SEKTE RSI
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
7. SEKTE SORA ATAU PENYEMBAH SURYA
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
8. SEKTE GONAPATYA
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
9. SEKTE BHAIRAWA
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
10. SEKTE RAMANANDI
Para pengikut Ramananda adalah Ramanandi. Mereka terkenal dikalangan orang-orang Hindustan. Mereka merupakan sebuah cabang dari sekte Ramanuja yang mempersembahkan pemujaan kepada Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman. Ramananda adalah seorang murid dari Ramanuja. Ia berkembang di Waranasi kira-kira pada awal abab ke-14. Para pengikutnya banyak terdapat di lembah sungai Gangga. Karya faforit mereka adalah “ BHAKTI-MALAT”. Tanda ke-sekte-an merreka adalah seperti orang-orang pengikut Ramanuja. Di antara pertapa Ramanandi mereka disebut Wairagi.
11. SEKTE WALLABHACARIN ATAU RUDRA SAMPRADAYIN
Para pengikut Wallabhacarin membentuk sebuah sekte yang sangat penting di Bombay, Gujarat dan India Tengah. Penganjurnya lahir dihutan Camparanya pada tahun 1479, yang dianggap sebagai satu inkarnasi dari Krsna. Para pengikut Wallabhacarin memuja Krsna sebagai Bala-Gopala. Patung pemujaan mereka menggambarkan Krsna pada masa kanak-kanaknya hingga berumur 12 tahun. Gosain atau para guru merupakan orang laki-laki yang selalu tinggal di rumah. Delapan upacara sehari-hari kepada Tuhan dikuil-kuil Mangala, Sringara Gwala,Raja Bhoga, Utthapana, Bhoga, Sandhya dan Sayana, yang semua ini menyatakan semua kemuliaan Tuhan.
Tanda pada kening mereka terdiri dari 2 garis tegak lurus berwarna merah yang pertemuaannya di pangkal hidung membentuk setengah bulatan dan memiliki sebuah titik bundar merah di antara dua garis tersebut. Kalung dan tasbihnya terbuat dari dahan pohon Tulasi (Basil Suci). Otoritas yang tersebar dari sekte ini adalah Srimad Bhagawatam seperti yang dijelaskan dalam Subhodini yang merupakan komentar dari Wallabhacarya. Anggota-anggota dari sekte ini hendaknya mengunjungi sebuah tempat suci Sri Nathdwara, paling sedikit sekali dalam hidupnya.
12. SEKTE CAITANYA
Sekte ini terutama tersebar di Bengala dan Orissa. Penganjurnya adalah Caitanya Mahaprabhu yang lahir pada tahun 1485, yang dianggap sebagai inkarnasi dari Tuhan Krsna. Beliau memasuki tahapan Sanyasa pada umur 24 tahun dan pergi ke Jagannantha disitu beliau mengajarkan ajaran-ajaran Waisnawa.
Para pengikut Caitanya memuja Sri Krsna sebagai Mahluk Tertinggi. Semua golongan masyarakat diperkenankan masuk ke dalam sekte ini. Para pemujanya secara terus menerus mengulang-ulang nama dari Krsna. Kitab Caitanya Caritamrta oleh Krsna Dasa merupakan karya besar yang jumlahnya berjilid-jilid yang mengandung cerita-cerita pendek dari Caitanya dan pengikutnya yang terpenting serta keterangan tentang ajaran dari sekte ini. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Bengali.
13. SEKTE NIMBARKA
Penganjur dari sekte ini adalah Nimbarka atau Nimbaditya, yang aslinya bernama Bhaskara Acarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Dewa Matahari. Para pengikutnya memuja Krsna dan Radha secara bersama-sama. Kitab utama mereka adalah Srimad Bhagawatat Purana.
Para pengikutnya memiliki tanda dua garis kuning tegak lurus dari bahan Gopicandana yang ditarik dari pangkal rambut kepermukaan masing-masing alis dan disana bertemu membentuk sebuah lengkungan yang menyatakan tapak kaki dari Tuhan Wisnu. Para pengikut Nimbarka atau Nimawat terpancar dari seluruh kalangan India atas. Mereka banyak terdapat di Mathura dan juga sangat banyak ditemui di antara sekte waisnawa di Bengala.
14. SEKTE MADHWA
Para penganut ajaran Madhwa Waisnawa, yang dikenal sebagai Brahma Sampradayin. Penganjur dari sekte ini adalah Madhwacarya yang juga disebut Ananda Tirtha dan Purna Prajna. Beliau lahir pada tahun1200. Beliau merupakan seorang penentang terbesar dari system filsafat Adwita dan Sankaracarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Wayu atau Dewa Angin. Beliau membangun dan mensucikan patung pemujaan Krsna di Udupi.
Para guru dari sekte Madhwa adalah para Brahmana dari Sannyasin. Para pengikutnya mencap dada dan bahunya dengan symbol Wisnu dengan memakai besi panas. Tanda pengenalnya terdiri dari 2 garis tegak lurus yang dibuat dari Gopicandana yang bertemu pada pangkal hidung. Mereka membuat garis lurus hitam dengan arang dari dupa yang dipersembahnkan kepada Krsna yang diakhiri dalam suatu bulatan yang dibuat dari sejenis kunyit.
Para pengikut Madhwa dibagi dua golongan yang disebut Wyasakuta dan Dasakuta. Mereka banyak dijumpai di Karnataka. Kejujuran, belajar kitab suci murah hati, kebaikan hati,kepercayaan dan kemerdekaan dari rasa cemburu membentuk hukum-hukum moral dari para pengikut Madhwa. Mereka memberikan nama-nama Tuhan kepada anak-anak mereka dan mencap badan mereka dengan simbol-simbol-Nya. Mereka melaksanakan kebajikan dalam pikiran,perkataan dan perbuatan.
15. SEKTE RADHA WALLABHI
Para pengikut Radha Wallabhi memuja Krsna sebagai Radha Wallbha, yaitu penguasa kasih sayang Radha. Penganjur dari sekte ini adalah Hariwansa. Sewa Sakhi Wani memberikan uraian terperinci tentang pengertian sekte ini, terlebih lagi tentang tradisi dan tata tertib mereka.
16. SEKTE JAINA
Penganjur pertama dari sekte ini adalah Parswanatha. Penyebar aktif yang pertama adalah Mahawira. Sekte Jaina dijumpai dalam jumlah yang besar terutama di pesisir barat. Mereka dibagi menjadi 2 sekte utama, yaitu : Swetambara (yang berpakaian warna putih) dan Digambara (yang telanjang). Sekte Jaina tidak mengakui ke Tuhan-an sumber weda, mereka tidak percaya pada suatu Dewata Tertinggi. Mereka menghormati orang-orang suci atau orang-orang yang saleh digelari Tirthankara yang berdiam dan dipersemayaman surgawi dan yang dengan disiplin lama meningkatkan dirinya sendiri ke kesempurnaan Tuhan. Gambaran atau patung dari satu atau lebih para Tirthankara ini ditempatkan pada setiap kuil pengikut Jaina.
Sekte Jaina menetapkan secara ketat hidup vegetarian dan terikat dengan kehidupan yang suci. Mereka melaksanakan Ahimsa. Para pengikut Jaina yang ketea menapis air sebelum minum, menyapu tanah dengan sebuah sikat sebelum melewati atau mendudukinya, tak pernah makan atau minum pada malam hari dan kadang mengenakan kain tipis menutup mulut untuk menjaga resiko menelan serangga kecil-kecil. Ada 2 pengikut Jaina yaitu : Srawaka yang melibatkan dirinya dalam kegiatan duniawi para Yati atau biksu yang menjalani kehidupan pertapa.
17. SEKTE SIKH
Orang-orang Sikh sesungguhnya adalah orang-orang Hindu. Kapatuhan terhadap guru memberikan keterlepasan dari kelahira berikutnya, merupakan keyakinan orang-orang Sikh.
18. SEKTE RAMA SANEHI
Penganjur golongan ini adalah Ramcaran yang lahir pada tahun 1718 di sebuah desa dekat Jaipur di Rajasthan. Para peminta-minta Rama Sanehi ada 2 golongan yaitu : Widehi yang telanjang dan Mohini yang mengenakan 2 potong pakaian dari kain kapas yang dicelup merah dalam tanah liat kecoklatan. Biara mereka ada di Sahapur Rajasthan. Sekte Rama Sanehi memiliki para pengikut yang terbesar di Mewar dan Alwar, namun mereka juga dijumpai di Bombay, Gujarat, Surat, Puna Ahmedabad, Hyderabad, dan Waranasi.
19. SEKTE KABIR PANTHI
Kabir Panthi adalah pengikut dari orang suci Kabir, yang banyak terdapat di seluruh propinsi India Atas dan Tengah. Cabang-cabangnya ada 12 buah, antara lain Kabir Caura yang berada di Waranasi yang merupakan subuah biara besar dari Kabir Panthi. Dharamdas adalah murid Kabir yang utama. Para pengikutnya diharapkan untuk memiliki kepatuhan yang mutlak terhadap para guru dalam pemikiran, perkataan, dan perbuatan. Mereka harus melaksanakan kejujuran, kedermawanan, tidak menyakiti dan pengasingan diri.
20. SEKTE DADU PANTHI
Dadu Panthi membentuk satu aliran Waisnawa. Dadu, penganjur sekte ini merupakan seorang murid salah satu guru-guru Kabir Panthi. Para pengikutnya memuja Rama. Dadu adalah seorang pembersih kapas, yang lahir di Ahmedabad. Iaberkembang kira-kira tahun 1600. Dadu Panthi terdiri dari 3 golongan yaitu : wirakta yang berkepala gundul dan memiliki satu pasang pakaian dan satu kendi air, naga yang membawa senjata dan yang dianggap sebagai tentara dan wistar dhari yang melakukan pekerjaan sambilan dari kehidupan biasa. Tempat pemujaan utama mereka berada di Naraina dekat Sambhur dan Jaipur.
21. SEKTE PARINAMI
Sri Pirannath adalah penganjur sekte ini yang lahir pada tahun 1675 di Jamnagar, distri Rajkot, Kathiawar. Beliau adalah Diwan dari Raja Jam Jasa. Pengikutnya melaksanakan Ahimsa, Satya, Daya-tanpa kekerasan, kejujuran dan kasih saying. Mereka mempelajari kitab-kitab suci, Kul Jam Swarup atau Atma Bodha dalam bahasa Hindi yang mengandung ajaran-ajaran Sri Prannath yang terdiri dari 18.000 Caupais. Mereka memuja Bala-Krsna yaitu Krsna sebagai seorang pemuda kecil. Para pengikutnya kebanyakan dijumpau di Punjab, Gujarat, Assam Nepal, dan Bombay. Dua buah Mutt atau biaranya terdapat di Jamnagar dan di Pamna.
3. Bentuk kristalisasi saiva siddhanta di Bali adalah :
Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di Kalimantan Timur (pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mùlavarman dan di Jawa Barat oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari India Selatan. Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Matarama Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di Jawa Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkann kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Disamping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya.Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual. Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah Hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di samping dakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu (Hindu Dharma), unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat diamati.
4. Ya saya beragama Hindu. Sebab kita memeluk agama karena kelahiran dan karena pilihan. Kita memeluk agama Hindu karena kita lahir dari orang tua Hindu, sejak kecil kita diajak oleh orang tua kita mengikuti acara-acara agama, kita diajak sembahyang bersama pada hari-hari raya dan pada usia tertentu kita dibuatkan upacara-upacara agama atau karena kita kawin dengan seorang suami atau istri Hindu. Atau bahkan karena pilihan yang kita lakukan secara sadar. Selain itu agama Hindu juga mengajarkan jalan kepada kita untuk berhubungan dengan Yang Suci (Tuhan), untuk berhubungan dnegna diri kita sendiri (spiritualitas) dan untuk berhubngan dengan lingkungan, mahluk hidup dan alam di sekitar kita (etika atau moral). Agama Hindu juga mewajibkan kita untuk menghormati hidup, hidup kita sendiri dan hidup orang lain. Pada umumnya agama Hindu atau orang-orang Hindu karena sikapnya yang sangat toleran. Dan,agama Hindu juga percaya dengan adanya Hukum Karmaphala. Dimana nasib manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. Ada agama yang percaya bahwa manusia hanya hidup sekali, setelah mati, menunggu hari kiamat. Pada saat itu manusia dibangkitkan kembali untuk diadili. Agama Hindu percaya pada Reinkarnasi, dimana manusia lahir kembali,diberikan kesempatan untuk menyempurnakan dirinya.
5. Cara saya menyikapi terhadap adanya sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep saiva siddhanta adalah : Lemahnya pemahaman akan keberadaan agama Hindu yang benar, terjadi hampir di semua kalangan umat. Hal ini antara lain menyebabkan kehadiran Sampradaya menjadi masalah. Kalau saja benar cara memahaminya justru keberadaan sampradaya akan menjadikan umat Hindu memiliki banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran suci Veda. Dengan demikian tidak ada umat Hindu merasa tertekan kalau pilihan yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan tipe atau selera rohaninya. Kesalah pahaman seringkali dikarenakan adanya oknum pengikut sampradaya yang berbuat tidak sesuai dengan norma-norma lingkungannya. Demikian juga umat Hindu yang tradisional, karena kekurang pahaman, menganggap kehadiran sampradaya sebagai ancaman. Padahal umat Hindu tradisional itu pun tergolong sampradaya Siwa Sidhanta.
Muncul istilah sampradaya pertama kali ketika umat Hindu Indonesia khususnya dari Bali mulai mengadakan kontak dengan umat Hindu di India dan ketika kontak lebih intensif terjadi ada beberapa umat Hindu Indonesia yang mengikuti salah satu sampradaya yang berkembang di India. Di lain pihak, umat Hindu Indonesia, khususnya di Bali, sebagian khawatir kalau sampradaya ini berkembang dengan dalih akan mengganggu atau merusak tatanan agama Hindu yang sudah ajeg, sebagian yang lain menerima dengan antusias dengan alasan dinamika perkembangan agama Hindu tidak mandeg, mereka merasakan pencerahan sesuai dengan kebutuhan spiritual dewasa ini. Menurut Sivananda (2003:143), Hindu sangatlah universal, bebas, toleren dan luwes.
Hindu di dalam ajarannya memiliki bermacam-macam kelompok filsafat dari Wedanta seperti Waisnawisme, Saiwisme, Saktisme dan lain-lain, serta memiliki sejumlah kepercayaan dan aliran. Hindu lebih bersifat gabungan agama dari pada agama tunggal dengan keyakinan yang terbatas. Hindu adalah persahabatan dari keyakinan dan juga suatu gabungan filsafat yang memberikan hidangan guna perenungan bagi para pengikutnya. Para pengikut Sanata Dharma, Arya Samaj, Dewa Samaj, Jaina, Bauddha, Sikh dan Brahma Samaj semuanya adalah orang-orang Hindu, karena mereka berasal dari Hindusme dan menekankan pada satu atau beberapa aspeknya saja. Oleh karena itu Hindu sendiri merupakan gabungan atau percampuran dari berbagai aliran dan keyakinan (sampradaya) bukan merupakan suatu keyakinan tunggal saja.
Berdasarkan dasar ajaran agama Hindu Panca Sradha, kita mengenal ajaran Moksa yang mempunyai makna kembalinya roh individu kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan tersebut adalah Karma Marga, Bhakti Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga.
Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ‘va bhajamy aham
mama vartma ‘nuvartante
manushyah partha sarvasah
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.
Bhagawad Gita Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi :
yo-yo yam-yam tanum bhaktah
sraddhaya ‘rchitum achchhati
tasya-tasya ‘chalam sraddham
tam eva vidadhamy aham
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.
Catur Marga (empat jalan) yang harus dilaksanakan manusia dalam usahanya untuk mencapai tingkat kesadaran tertinggi yaitu kembali kepada Yang Maha Pencipta, merupakan satu kesatuan yang satu sama lainnya sangat berkaitan, sehingga keempat karma tersebut harus dipahami dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan Jnana (ilmu pengetahuan) tentang hukum ketuhanan yang ada dalam kitab suci sebagai dasar untuk meluruskan pelaksanaan marga-marga lainnya. Akan terdapat perbedaan yang kelihatannya kontradiktip dalam pelaksanaan sembahyang antara mereka yang masih dalam tahap menjalankan karma dan bhakti marga dengan mereka yang sudah dalam tahapan menjalankan raja marga. Sembahyang raga dan sembahyang rasa adalah bagi mereka yang masih dalam tingkatan karma dan bhakti marga. Sedangkan bagi mereka yang sudah dalam tahapan melaksanakan raja marga, cara sembahyangnya sudah pada tingkatan sembahyang cipta dan sukma. Mereka sudah bisa sembahyang dalam keadaan sedang bekerja, berjalan, duduk santai dengan pakaian yang sederhana, sambil ngobrol dan mereka cendrung terlihat aneh dimata kebanyakan orang.
Dan yang paling penting, perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan atau dipermasalahkan, karena hal ini sangat tergantung dari tingkat pemahaman (jnana) masing-masing orang. Akan tetapi satu kunci yang paling penting untuk dipahamidan dijalankankan, bahwa yang kita sembah adalah hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Absolut, tidak ada yang lain dan tidak melalui perantara siapapun baik itu dewa, bathara ataupun leluhur. Masing-masing individu bertanggung jawab mutlak kepada Tuhan atas karma yang dia laksasanakan di dunia, tidak ada orang lain yang bisa mewakili.
Adanya berbagai sampradaya-sampradaya tersebut adalah suatu keindahan dalam Agama Hindu.Swami Siwananda menyatakan:Hinduisme menampung segala tipe manusia dan memberikan hidangan spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan pertumbuhannya masing-masing. Hal ini merupakan keindahan dari Agama Hindu yang menarik hati ini itulah kemuliaan Hinduisme. Oleh karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hinduisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar